TEORI
BELAJAR BEHAVIORISTIK
Teori
belajar behavioristic, merupakan teori belajar yang banyak dianut oleh para
guru hampir diseluruh dunia termasuk diindonesia, menurut teori ini belajar
adalah perubahan tingkah laku peserta didik, perubahan itu disebabkan adanya
stimulus yang diberikan guru, kemudian peserta didik meresponnya dengan
melakukan tindakan berfikir dan menunjukkan hasilnya, jika hasil yang
dikerjakan peserta didik belum sesuai dengan kaidah yang benar maka peserta
didik tersebut belum dikatakan belajar, teori ini mementingkan ; 1) adanya
input/stimulus yang diberikanguru 2) adanya output yang berupa respon 3).
Adanya penguatan (reinforcemen) baik yang positif maupun yang negative. Penguatan
positif (positif Reinforcenment) artinya penguatan yang diberikan guru semakin kuat menjadikan peserta didik semakin giat belajar, sedang penguatan negative (negative
reinforcement) artinya pengurangan pengutan yang diberikan guru menyebabkan peserta didik giat belajar.
Tokoh-tokoh
teori behavioristik antara lain Thorindike, Waston, Clack Hull, Edwin Gutrie
dan Skiner, walaupu mereka setuju dengan pengertian belajar ini, namun ada
beberapa perbedaan. Thorendike, mengatakan bahwa perubahan tingkah laku dapat
berujud kongrit (yang dapat diamati) maupun abstrak (tidak dapat diamati), yang kongkrit bisa diukur, namunn yang
abstrak tidak dijelaskan bagaimana cara pengukuran tingkah lakunya. Teori
Thorndike disebut sebagai aliran koneksionisme (teori belajar yang lebih
menekankan pada tingkah laku manusia.)
Menurut
teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari
adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar
merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk
bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus
dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan
perubahan tingkah lakunya.
STIMULUS
adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya daftar perkalian,
alat peraga, pedoman kerja, atau cara-cara tertentu, untuk membantu belajar
siswa, sedangkan RESPON adalah reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus
yang diberikan oleh guru
Faktor
lain yang juga dianggap penting oleh aliran behaviotistik adalah faktor
penguatan (reinforcement). Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat
timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka
respon akan semakin kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi (negative
reinforcement) responpun akan tetap dikuatkan. Misalnya, ketika siswa diberi
tugas oleh guru, ketika tugasnya ditambahkan maka ia akan semakin giat
belajarnya
Tokoh-tokoh
aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin
Guthrie, dan Skiner
Menurut
Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus
yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti
pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera.
Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan siswa ketika belajar, yang juga
dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Dari definisi belajar
tersebut maka menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan
belajar itu dapat berujud kongkrit yaitu yang dapat diamati, atau tidak
kongkrit yaitu yang tidak dapat diamati
Meskipun
aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, namun ia tidak dapat
menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku-tingkah laku yang tidak dapat
diamati. Namun demikian, teorinya telah banyak memberikan pemikiran dan
inspirasi kepada tokoh-tokoh lain yang datang kemudian. Teori Thorndike ini
disebut juga sebagai aliran Koneksionisme (Connectionism).
J.B. Watson adalah seorang tokoh
aliran behavioristik yang datang sesudah Thorndike. Menurutnya, belajar adalah
proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang
dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observabel) dan dapat
diukur. Dengan kata lain, walaupun ia mengakui adanya perubahan-perubahan
mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun ia menganggap hal-hal
tersebut sebagai faktor yang tak perlu diperhitungkan. Ia tetap mengakui bahwa
perubahan-perubahan mental dalam benak siswa itu penting, namun semua itu tidak
dapat menjelaskan apakah seseorang telah belajar atau belum karena tidak dapat
diamati. Watson adalah seorang
behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan
ilmu-ilmu lain seperti fisika atau biologi yang sangat berorientasi pada
pengalaman empirik semata, yaitu sejauh dapat diamati dan dapat diukur.
Asumsinya bahwa, hanya dengan cara demikianlah maka akan dapat diramalkan
perubahan-perubahan apa yang bakal terjadi setelah seseorang melakukan tindak
belajar. Pemikiran Watson (Collin, dkk: 2012) dapat digambarkan sebagai berikut
Clark
Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk
menjelaskan pengertian tentang belajar. Namun ia sangat terpengaruh oleh teori
evolusi yang dikembangkan oleh Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori
evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga
kelangsungan hidup manusia. Oleh sebab itu, teori Hull mengatakan bahwa
kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati
posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam
belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon
yang akan muncul mungkin dapat bermacam-macam bentuknya.
Sebagaimana
Hull, Edwin Guthrie juga menggunakan
variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses
belajar. Namun ia mengemukakan bahwa stimulus tidak harus berhubungan dengan
kebutuhan atau pemuasan biologis sebagaimana yang dijelaskan oleh Clark dan
Hull. Dijelaskannya bahwa hubungan antara stimulus dan respon cenderung hanya
bersifat sementara, oleh sebab itu dalam kegiatan belajar siswa perlu sesering
mungkin diberikan stimulus agar hubungan antara stimulus dan respon bersifat
lebih tetap. Ia juga mengemukakan, agar respon yang muncul sifatnya lebih kuat
dan bahkan menetap, maka diperlukan berbagai macam stimulus yang berhubungan
dengan respon tersebut. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment)
memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat
yang tepat akan mampu merubah kebiasaan dan perilaku seseorang. Namun setelah
Skinner mengemukakan dan mempopulerkan akan pentingnya penguatan
(reinforcemant) dalam teori belajarnya, maka hukuman tidak lagi dipentingkan
dalam belajar.
Menurut
Skinner, hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi
dalam lingkungannya akan menimbulkan perubahan tingkah laku Pada dasarnya
stimulus-stimulus yang diberikan kepada seseorang akan saling berinteraksi dan
interaksi antara stimulus-stimulus tersebut akan mempengaruhi bentuk respon
yang akan diberikan. Demikian juga dengan respon yang dimunculkan inipun akan
mempunyai konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang pada
gilirannya akan mempengaruhi atau menjadi pertimbangan munculnya perilaku. Oleh
sebab itu, untuk memahami tingkah laku seseorang secara benar, perlu terlebih
dahulu memahami hubungan antara stimulus satu dengan lainnya, serta memahami
respon yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin akan
timbul sebagai akibat dari respon tersebut.
Pandangan
teori belajar behavioristik ini cukup lama dianut oleh para guru dan pendidik.
Namun dari semua pendukung teori ini, teori Skinerlah yang paling besar
pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program
pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul, dan
program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus–
respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan
program-program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan
oleh Skiner.
Pandangan
behavioristik tidak sempurna, kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat
emosi siswa, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan
ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan
pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu
pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat
kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon
yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau
perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut. Teori behavioristik juga cenderung
mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak
produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau
shaping, yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu, sehingga
menjadikan siswa untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak
faktor yang berpengaruh dalam hidup ini yangmempengaruhi proses belajar. Jadi
pengertian belajar tidak sesederhana yang dilukiskan oleh teori
behavioristik. Skinner dan tokoh-tokoh
lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya
hukuman dalam kegiatan belajar. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat
negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi siswa untuk bebas berpikir
dan berimajinasi. Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses
belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan
Guthrie, yaitu: 1. Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat
bersifat sementara. 2. Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi
(menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama. 3. Hukuman mendorong si terhukum mencari cara
lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata
lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang
kadangkala lebih buruk dari pada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner
lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif
tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus
diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang akan muncul berbeda dengan respon
yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi
agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang siswa perlu
dihukum karena melakukan kesalahan. Jika siswa tersebut masih saja melakukan
kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu yang tidak
mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah
ditambah) dan pengurangan ini mendorong siswa untuk memperbaiki kesalahannya,
maka inilah yang disebut penguat negatif. Lawan dari penguat negatif adalah
penguat positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat
respon. Namun bedanya adalah bahwa penguat positif itu ditambah, sedangkan
penguat negatif adalah dikurangi agar memperkuat respons. Aliran psikologi
belajar yang sangat besar mempengaruhi arah pengembangan teori dan praktek
pendidikkan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran
ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teoribehavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang
yang belajar sebagai individu yang pasif. Respons atau perilaku tertentu dapat
dibentuk karena dikondisi dengan cara tertentu dengan menggunakan metode drill
atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan
reinforcement, dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Istilah-istilah seperti hubungan
stimulus-respon, individu atau siswa pasif, perilaku sebagai hasil belajar yang
tampak, pembentukan perilaku (shaping) dengan penataan kondisi secara ketat,
reinforcement dan hukuman, ini semua merupakan unsurunsur yang sangat penting
dalam teori behavioristik. Teori ini hingga sekarang masih merajai praktek
pembelajaran di Indonesia. Hal ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan
pembelajaran dari tingkat paling dini, seperti Kelompok bermain, Taman
Kanak-kanak, Sekolah-Dasar, Sekolah Menengah, bahkan sampai di Perguruan
Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan
reinforcement atau hukuman masih sering dilakukanAplikasi teori behavioristik dalam
kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti; tujuan
pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas
pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan
berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif,
pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi,
sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah
memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar atau siswa. Siswa diharapkan akan
memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa
yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Thorndike (Schunk, 2012) kemudian merumuskan peran yang harus dilakukan guru
dalam proses pembelajaran, yaitu: 1.
Membentuk kebiasaan siswa. Jangan berharap kebiasaan itu akan terbentuk dengan
sendirinya 2. Berhati hati jangan smpai
membentuk kebiasaan yang nantinya harus diubah. Karena mengubah kebiasaan yang
telah terbentuk adalah hal yang sangat sulit.
3. Jangan membentuk dua atau lebih kebiasaan, jika satu kebiasaan saja
sudah cukup 4. Bentuklah kebiasaan
dengan cara yang sesuai dengan bagaimana kebiasaan itu akan digunakan. Evaluasi
menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya
menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut satu jawaban
benar. Maksudnya, bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan
guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya.
Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan
pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran.
Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara individual. Salah satu contoh pembelajaran behavioristik
adalah pembelajaran terprogram (PI/Programmed Instruction), di mana
pembelajaran terprogram ini merupakanpengembangan dari prinsip-prinsip
pembelajaran Operant conditioning yang di bawa oleh Skinner. Dalam Schunk
(2012) PI melibatkan beberapa prinsip pembelajaran. Dalam pembelajaran
terprogram, materi dibagi menjadi frame-frame secara berurutan yang setiap
frame memberikan informasi dalam potongan kecil dan dilengkapi dengan test yang
akan direspon oleh siswa. Pada jaman
modern ini, aplikasi teori behavioristik berkembang pada pembelajaran dengan
powerpoint dan multimedia. Dalam pembelajaran dengan powerpoint, pembelajaran
cenderung terjadi satu arah. Materi disampaikan dalam bentuk powerpoint yang
telah disusun secara rinci. Sementara itu pada pembelajaran dengan multimedia,
siswa diharapkan memiliki pemahaman yang sama dengan pengembang, materi disusun
dengan perencanaan yang rinci dan ketat dengan urutan yang jelas, latihan yang
diberikan pun cenderung memiliki satu jawaban benar. Feedback pada pembelajaran
dengan multimedia cenderung diberikan sebagai penguatan dalam setiap soal, hal
ini serupa dengan program pembelajaran yang pernah dikembangkan Skinner
(Collin, 2012), dimana Skinner mengembangkan model pembelajaran yang disebut
“teaching machine” yang memberikan feedback kepada siswa bila memberikan
jawaban benar dalam setiap tahapan dari pertanyaan test, bukan sekedar feedback
pada akhir test.