Senin, 24 Februari 2020

KEGIATAN BELAJAR 1


KEGIATAN BELAJAR 1
KEKUATAN JIWA YANG MEMBENTUK AKHLAK AL-KARIMAH

A.  Capaian Pembelajaran

Mampu menganalisis hakekat  akhlak dan kekuatan pendukungya dalam jiwa manusia

B.   Sub CP/Indikator Kompetensi

1.      Mendefinisikan hakekat akhlak al-karimah.
2.      Membedakan potensi-potensi jiwa;  Quwwah al-Ilmi, Quwwah al-Ghadhab, Quwwah asy-Syahwah, dan Quwwah al-‘Adalah dalam jiwa manusia.
3.      Menganalisis terbentuknya akhlak al-karimah dengan sumber-sumber kemuliaan; hikmah, syaja'ah, iffah,  dan ‘adalah

C.  Uraian Materi
1.  Definisi Akhlak al-Karimah
Bagaimana Saudara sudah siap untuk mengkaji definisi akhlak? Saudara tidak perlu tegang atau takut. Ingat tidak ada yang susah kalau Saudara sudah bisa. Dan tidak ada yang tidak bisa diraih kalau Saudara sungguh-sungguh  من جد وجد
 Baik, kita mulai fahami menurut bahasa terlebih dahulu.
Menurut bahasa kata Akhlak dalam bahasa Arab merupakan jama’ dari خلق/khuluqun yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, sopan santun atau tabiat. Kata tersebut mengandung segi persesuaian dengan perkataan خلق/khalqun berarti kejadian, yang juga erat hubungannya dengan خالق/khalik yang berarti pencipta, demikian pula مخلوق/makhluqun yang berarti yang diciptakan. Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluk (Mushtofa, Akhlak Tasawuf, 2008: 11)
 Sudah nyambung? Coba selanjutnya Saudara fahami beberapa definisi akhlak menurut para ahli berikut:
a. Ibnu Miskawih
الخلق حال للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر ولا روية
“Akhlak adalah kondisi jiwa yang mendorong tindakan-tindakan tanpa perlu berpikir dan pertimbangan lagi” (Ibn. Miskawaih, Thadzib al-Akhlaq, 1985; 25)
Kondisi jiwa seseorang dalam definisi Ibn Miskawaih di atas merupakan kondisi jiwa yang sudah terbiasa melakukan tindakan-tindakan tertentu, sehingga tindakan-tindakan tersebut seakan sudah mendarah daging, mereka akan melakukannya secara sepontan ketika mendapatkan stimulus tertentu.

b. Al-Ghazali
الخلق عبارة عن هَيْئَةٌ فِي النَّفْسِ رَاسِخَةٌ عَنْهَا تُصْدِرُ الْأَفْعَالَ بِسُهُولَةٍ وَيُسْرٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ إِلَى فِكْرٍ وَرَوِيَّةٍ

“Akhlak ialah gambaran keadaan jiwa berupa sifat-sifat yang sudah mendarah daging yang mendorong dilakukannya perbutan-perbuatan dengan mudah lagi gampang tanpa berfikir panjang” (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005; 890)
Gambaran sifat-sifat jiwa yang sudah terlatih dan juga sudah mendarah daging yang dapat menjadi sumber inspirasi dan mendorong tindakan-tindakan yang bersifat spontan. Tindakan-tindakan seperti inilah yang dapat dikategorikan sebagai akhlak. Apabila seuatu perbuatan dilakukan dengan mempertimbangkan dahulu, apa untung ruginya bagi si pelaku perbuatan tersebut, maka belum dikatakan sebagai akhlak.

c. Prof. Dr. Ahmad Amin
Seorang ahli Ilmu Akhlak modern, yakni Ahmad Amin dalam bukunya Kitab al-Akhlaq, menegaskan bahwa pada dasarnya akhlak adalah kehendak yang dibiasakan, bukan perbuatan yang tidak ada kehendaknya. Seperti bernafas, denyut jantung, kedipan mata dan lain-lain (Ahmad Amin, Kitab al-Akhlaq, 2012; 10).
Akhlak merupakan perbuatan yang mudah dilakukan karena telah didik dengan membiasakannya dalam kehidupan sehari-hari.  Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan melalui ikhtiar. Pelakunya mengetahui baik atau buruk dari perbuatan yang dilakukannya. Karena perbuatan akhlak juga termasuk perbuatan yang kelak akan dipertanggung-jabawkan di hadapan Allah Swt. 
Selain tiga tokoh  ahli dalam bidang akhlak tersebut di atas sebenarnya masih banyak, tetapi pada dasarnya sama bahwa akhlak unsurnya terdiri dari perbuatan sadar (ada iradah dan ikhtiar) yang didorong oleh sifat-sifat yang sudah terbiasa sehingga sekan-akan spontan dan terkesan tidak usah dipikirkan sebelumnya.
Selamat, Saudara telah berhasil memahami apa itu definisi akhlak. Kalau masih ada waktu coba baca sekali lagi! Selanjutnya dalam KB 1 ini Saudara akan menganalisis unsur-unsur yang ada di dalam jiwa Saudara yang dapat mempengaruhi terbentuknya akhlak.

A.    Kekuatan Jiwa dan Sumber Terbentuknya Akhlak al-Karimah

Setelah Saudara mendalami berbagai pendapat mengenai definisi akhlak, kira-kira Bagaimana pendapat Saudara? Apakah akhlak seseorang bisa terbentuk dengan sendirinya? Ataukah harus dibentuk dengan mendidik dan membiasakan sampai betul-betul mendarah daging dalam dirinya? Tentunya Saudara akan setuju kalau akhlak seseorang itu harus dididik dan dibiasakan secara terus menerus dalam lingkungannya di mana ia tinggal sampai benar-benar melekat dalam jiwanya.
Dalam rangka pembentukan akhlak seseorang, Saudara perlu terlebih dahulu memahami kekuatan-kekuatan jiwa yang dapat mendorong terbentuknya akhak tersebut. Baik  bacalah dengan saksama penjelasan berikut ini:
Ibu Miskawaih menjelaskan bahwa di dalam jiwa seseorang itu terdapat tiga kekuatan (al-quwwah) yang sangat penting dalam membentuk akhlak manusia. Sementara Imam Al-Ghazali menyebutkan sebagai Ummahat al-Akhlaq wa Ushuluha dengan ditambahkan satu kekuatan (al-quwwah) sehingga genap menjadi empat kekuatan (al-quwwah) (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005; 936), keempatnya adalah sebagai berikut:

1. Quwwah al-Ilmi
Quwwah al-Ilmi adalah kekuatan yang berasal dari akal. Dengan akal inilah manusia dapat dengan mudah membedakan mana yang jujur dan mana yang bohong dalam berbicara, mana yang benar dan mana yang salah dalam mengambil keputusan, mana yang baik dan mana yang buruk dalam bertindak. Kekuatan inilah yang menjadi pembeda manusia dengan jenis binatang. Dengan akal manusia dapat mencipta dan mengembangakan budaya sehingga terus berkembang ke arah yang lebih baik dan lebih maju dari sebelumnya.
Buahnya adalah hikmah, yakni pemahaman yang mendalam tentang segala sesuatu sesuai dengan syariat Allah Swt. Sebagaimana firman-Nya:
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ (البقرة:269)
Artinya:
“Dia berikan hikmah kepada yang Dia kehendaki dan Siapa yang diberikan al-hikmah maka sesungguhnya dia telah diberikan kebaikan yang sangat banyak. Dan hanya orang-orang memiliki akal fikiranlah yang mampu memahaminya”. (QS. Al-Baqarah/2:169)
Al-Maraghi menjelaskan bahwa yang dimaksud hikmah adalah ilmu yang bermanfaat, yakni ilmu yang dapat mempengaruhi jiwa pemiliknya dan membimbing kehendaknya untuk mendorong melakukan tindakan-tindakan yang dapat membawa manfaat dan kebahagiaan dunia akhirat (Al-Maraghi Jilid III, h. 40)
Hikmah dalam pengertian di atas, apabila dimiliki seseorang bisa menjadi salah satu sumber penting dalam pembentukan akhlak yang mulia. Dan inilah tujuan utama diutusnya Nabi Kita Muhammad Saw. ke dunia ini. Sebagaimana sabda beliau. berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ" (رواه احمد)
Dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak” (H. R. Ahmad)
Coba perhatikan fenomena dunia zaman sekarang! Banyak orang kelihatannya berilmu, tapi ilmunya kurang atau bahkan tidak dapat membimbing kehendaknya untuk mendorong melakukan tindakan-tindakan yang dapat membawa manfaat dan kebahagiaan dunia akhirat. Kenapa? Jawabnya sederhanya karena ilmunya tidak mengandung hikmah.
Bagaimana, sekarang sudah mulai nyambung? Kita lanjutkan, memahami konsep hikmah.
Hikmah sebagai konsep itu mencakup empat turunan, yakni: husnu at-tadbir (baik pemikirannya), judat adz-dzihn (jernih pemikirannya), tsiqabah ar-ra’yi (tajam pemikirannya) dan shawab azh-zhann (tepat pemikirannya) (Al-Ghazali, Mizan al-‘Amal, 1964; h. 284)
Mari kita analisis konsep turunan hikmah tersebut di atas satu persatu.

a. Husnu at-Tadbir
Seseorang  yang memiliki hikmah akan menjadi husnu at-tadbir yakni cerdas dan lurus jalan fikirannya dalam mengistimbatkan (mengambil kesimpulan).  Ia akan bisa mengambil yang terbaik, dan paling bermanfaat dalam berbagai urusan, sesulit apapun dan segawat apapun. Ia tidak sekedar cerdas (kayyis), tetapi mampu memikirkan hal-hal yang abstrak dengan benar sehingga dapat mengambil keputusan yang menghasilkan kebaikan-kebaikan yang agung dan akhir yang mulia dalam berbagai urusan kehidupan.
 b. Jaudat adz-Dzihn

Seseorang  yang memiliki hikmah akan menjadi jaudat adz-dzihn, yakni memiliki kemampuan untuk dapat berfikir memperoleh kebijaksanaan ketika dihadapkan pada pendapat yang mirip-mirip dan mengandung pertentanagan-pertentangan dalam implementasi. Ia akan selalu mendapatkan kosep yang memberikan manfaat sesamanya dan diterima oleh berbagai pihak.

c. Tsiqabah ar-Ra’yi
Seseorang  yang memiliki hikmah akan menjadi tsiqabah ar-ra’yi, yakni mempunyai kecepatan kemampuan dalam menghubungkan data-data yang dimilikinya dengan sebab akibat yang mengasilkan kemaslahatan dalam kehidupan masyarakat.

d. Shawab azh-Zhann
Seseorang  yang memiliki hikmah akan menjadi shawab azh-zhann, yakni ia akan mendapatkan taufiq dari Allah Swt. dengan kesesuaian antara dugaan yang terdapat dalam alam fikirannya dengan kebenaran hakiki tanpa harus lama-lama memikirkannya.

Kebalikan dari Quwwah al-Ilmi adalah lemahnya ilmu atau kebodohan, terbagi dalam dua konsep, yaitu radzilah al-khibb dan radzilah al-balah.  Radzilah al-khabb terdiri dari ad-dahaa  (tertipu) dan al-jarbazah (lemah berfikir) yaitu. Logikanya kurang sehat atau kurang lurus sehingga ketika mengambil kesimpulan sering kali tidak benar, apa yang dikatakannya baik ternyata buruk atau sebaliknya.
Sementara radzilah al-balah terdiri dari tiga hal; pertama kebodohan sebab karena kurang pengalaman belajar, kedua kebodohan sebab dari bawaan seperti idiot dan ketiga kebodohan sebab hilangnya akal atau gila.
Ilmu dalam bentuk hikmah seperti dijelaskan di atas sangat penting dalam membentuk menanamkan dan mendidik akhlak seseorang, karena ia dapat membentuk konsep diri (manset) seseorang. Apabila konsep diri seseorang tentang perbuatan itu baik, maka kelak ia akan menjadi baik perbuatannya, sebaliknya apabila konsep dirinya buruk maka mereka akan menjadi buruk perbuatannya pula.
Selesai sudah pembahasan Quwwah al-Ilmi. Apa Saudara masih sanggup melanjutkan? Hayoo … kita lanjutkan pembahasan mengenai kekuatan jiwa yang ke dua yaitu  Quwwah al-Ghadhab.

2. Quwwah al-Ghadhab
Quwwah al-Ghadhab merupakan dorongan manusia untuk menolak yang tidak disenangi dan memdapatkan kenikmatan yang bersifat abstrak dan batin. Dimana ia bisa menghasilkan sifat utama yang dapat menjadi sumber akhlak yang mulia serta  menumbuhkan kebaikan-kebaikan yakni sifat syaja’ah (keberanian) (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005; 936). Dengan sifat syaja’ah manusia bisa berani berkorban apa saja untuk meraih kebahagian dan kemuliaan batinnya. Dan bahkan ia akan berani berkorban tidak hanya dengan apa yang dimilikinya tetapi juga berani maju mengorbankan jiwa raganya demi kemuliaan dan kebahagiaan yang diyakininya benar. 
Bagaimana setelah membaca alinea di atas? Apa yang ada di dalam fikiran Saudara mengenai hubungan konsep  Quwwah al-Ghadhab dan Syaja’ah? Untuk lebih fahamnya mari kita lanjutkan!
Syaja’ah menurut al-Ghazali dalam kitab Mizan al-Amal meliputi banyak sifat turunannya, diantara lain adalah sebagai berikut:
a. Al-Karam (kebaikan budi), yaitu berani mengambil sikap moderat untuk mengambil atau menerima keputusan penting  dalam berbagai masalah yang menyangkut kemaslahatan yang besar dan urusan-urusan yang mulia.  
b. An-Najdah (membantu, menolong), yaitu berani dalam membantu atau menolong siapapun, apalagi menolong hal yang benar, baginya merupakan jihad. Bukan penekad juga bukan penakut, apabila sudah menyakini sebuah kebenaran maka harus berani maju, meskipun harus mempertaruhkan jiwa demi kemuliaan abadi.
c.   Kibr an-Nafs (berjiwa besar), bukan sombong juga bukan rendah diri (mider). Ia berani menjadikan dirinya sebagai ahli dalam hal kemuliaan dengan penuh kerendahan hati dan menghindari perdebatan pada urusan-urusan yang sedikit manfaatnya. Ia sangat menghormati ulama.
d.   Al-Ihtimal (ketahanan dalam bekerja), berani bertanggung jawab menahan diri dalam menjalankan tugas, meski dirasa sangat berat.
e.  Al-Hilm (santun), ia dapat menahan emosi yang biasanya meledak-ledak, tidak  terpancing dalam keadaan apapun dan marah. Sikapnya tetap santun dalam menghadapi semua orang, ia sudah dapat lepas dari sikap yang buruk dalam menghadapi orang lain atas gejolak jiwa suka dan tidak suka.
g.   Al-Wiqar (tenang), menahan diri dari berbicara secara berlebihan, kesia-siaan, banyak menunjuk dan bergerak dalam perkara yang tidak membutuhkan gerakan. Mengurangi amarah, tidak banyak bertanya, menahan diri dari menjawab yang tidak perlu, menjaga diri dari ketergesaan dalam beramal, dan bersegera dalam seluruh perkara kebaikan.
Perlu Saudara ketahui bahwa Quwwah al-Ghadhab, juga dapat mendorong perbutan yang buruk bagi seseorang. Apa itu?  Jawabnya adalah at-Tahawwur dan al-Jubn. Dengan adanya dorongan manusia dari dalam dirinya untuk memdapatkan kenikmatan yang bersifat abstrak dan batin berupa kemuliaan atau kekuasaan manusia bisa Tahawwur (nekad) yakni berani melakukan tindakan yang bukan pada tempatnya (Sultoni Dalimunthe, Filsafat Pendidikan Akhlak , h. 149). Misalnya berani maju ikut tawuran, padahal belum mengetahui mana yang benar dan mana yang salah dan resikonya bisa mati terbunuh.
Juga karena di dalam diri manusia ada dorongan ingin tetap mendapatkan kenikmatan yang bersifat abstrak dan batin berupa kemuliaan atau kekuasaan, maka ia bisa  bersifat Jubn (pengecut), sifat takut yang berlebihan dalam mempertahankan diri dari berbagai masalah kehidupan. Misalnya takut mengadapi ujian, padahal ujian adalah satu cara yang harus dilalui oleh siapapun yang ingin meningkatkan dan memperbaiki nasib dan derajatnya.
Bagaimana, cukup faham sudah? Kalau sudah kita lanjutkan pada bahasan berikutnya, yakni  Quwwah asy-Syahwah

3. Quwwah asy-Syahwah
Al-Quwwah asy-Syahwah yaitu kekuatan yang ada dalam diri manusia yang yang  mendorong perbutan-perbuatan untuk memperoleh kenikmatan-kenikmatan yang bersifat zhahir, yang dinspirasi oleh panca indranya seperti: mencari makanan dan minuman, mencintai lawan jenis dan lain-lainnya. Dengan kekuatan ini manusia menjadi lebih bergairah dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan. Quwwah asy-Syahwah yang baik disebut al-iffah.
Seorang dikatakan sebagai orang yang ‘affih apabila yang mampu menahan diri dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah Swt. Dengan demikian seorang yang 'afif adalah orang yang bersabar yakni taat muthlak kepada Allah Swt. baik dalam menjalankan perintah-perintah-Nya, maupun meninggalkan lawangan-Nya walaupun jiwanya (syahwatnya) sangat menginginkan untuk melanggarnya.
'Iffah merupakan  akhlaq yang sangat dicintai oleh Allah Swt. Oleh sebab itulah sifat ini perlu dilatih sejak anak-anak masih kecil, sehingga memiliki kemampuan dan daya tahan terhadap keinginan-keinginan yang tidak semua harus dituruti karena akan membahayakan saat telah dewasa. Dari sifat 'iffah inilah akan lahir sifat-sifat mulia. Diantara sifat-sifat terpuji turunan dari sifat 'Iffah adalah sebagai berikut:
a. الحياء /haya’, adalah sifat malu untuk meninggalkan perbuatan yang diperintahkan oleh Allah Swt. dan sebaliknya malu melakukan perbutan yang dilarang oleh-Nya. Apabila jiwa manusia semua sudah memiliki sifat malu seperti ini, niscaya tidak ada lagi tindak kejahatan dimuka bumi ini. Sehingga bumi akan aman, tentram dan damai.  Karena malu akan menjadi benteng terakhir bagi diri seseorang dalam melakukan kemaksiatan
b.  القناعة/qana'ah, adalah sifat menerima atau merasa cukup atas karunia Allah Saw., sekaligus menjauhkan diri dari sifat tidak puas dan merasa kekurangan yang berlebih-lebihan. Qanaah muncul dalam kehidupan seseorang berupa sikap rela menerima keputusan Allah Swt. yang berlaku bagi dirinya. Bagi siapa yang dapat menjadikan dirinya qana'ah, maka ia akan dijamin akan mendapatkan hakekat dunia, menjadi orang yang beruntung, mudah bersyukur, terhindar dari sifat hasud dan terhindar dari problema kehidupan dunia.
c.   السخاء/sakha’, yaitu sifat dermawan senanga memberikan harta dalam kondisi memang wajib memberi, sesuai kepantasannya dengan tanpa mengharap imbalan dari yang diberi dalam bentuk apapun seperti pujian, balasan, kedudukan, ataupun sekedar ucapan terima kasih (QS. Al-Insan/76:9).
Jadi seseorang disebut dermawan jika dapat memberi secara tulus ikhlas. Orang yang memberi karenan ingin balasan dari pihak yang diberi bukanlah dermawan tapi disebut berdagang. Sebab ia seolah-olah membeli balasan berupa pujian, kedudukan, ucapan terima kasih dan lainnya dengan hartanya.
d. الورع/wara’, yaitu meninggalkan hal-hal yang syubhat karena khawatir membahayakan nasibnya di akhirat kurang baik. Meninggalkan yang syubhat, yakni sesutau yang hukumnya belum jelas halal atau haram yang berlaku dalam semua aktifitas manusia, baik yang berupa benda maupun perilaku. Dan lebih dari itu meninggalkan segala hal yang kurang atau tidak bermanfaat.
Perlu Saudara ketahui juga bahwa Quwwah asy-Syahwah, dapat mendorong perbutan yang buruk bagi seseorang. Apa itu?  Jawabnya antara lain; rakus, tabdzir, ria, hasud dan lain-lain.
Bagaimana, faham? Kalau sudah,  kita lanjutkan pada bahasan berikutnya, yakni  Quwwah al-‘Adl
4. Quwwah al-‘Adl
Menurut al-Ghazali, terbentuknya akhlak yang mulia pada diri seseorang diperlukan lagi satu kekuatan, yaitu Al-Quwwah al-‘Adl, sebuah kekuatan penyeimbang dari ketiga kekuatan jiwa sebelumnya (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005; 935).  Sementara Ibnu Miskawaih meskipun tidak menyebutkan secara khusus adanya Al-Quwwah al-‘Adl, tetapi dalam penjelasnnya juga mengkaitkannya dengan ketiga kekuatan jiwa tersebut.
Tiga kekutan jiwa manusia yang menjadi dorongan tingkah lakunya akan menjadi baik kalau bersinergi secara adil (keseimbang). Quwwah al-Ilmi akan menjadi sumber kebaikan kalau sudah menuntun dengan mudah untuk membedakan yang benar dan yang salah dalam keyakinan, yang baik dan yang buruk dalam perbuatan serta yang jujur dan yang bohong dalam berkata-kata. Atau dengan kata lain ilmunya sudah menjadi hikmah.
Quwwah al-Ghadhab, akan menjadi baik apabila dapat dikendalikan oleh akal yang sehat dan syariat, sehingga menghasilkan sifat (syaja’ah) yang menjadi sumber berbagai akhlah yang baik. Apabila tidak mengikuti tuntunan akal dan syariat condong pada hal yang berlebih, maka dinamakan tahawwur (nekad). Tetapi bila condong pada sifat lemah dan pengurangan, maka dinamakan jubn (takut yang berlebihan).
Kemudian Quwwah asy-Syahwah, akan menjadi baik apabila dapat terdidik oleh akal dan syariat, maka ia akan menghasilkan sifat ‘iffah yang menjadi sumber dari berbagai akhlak yang mulia, seperti malu, sabar, qanaah, wara, zuhud dan lain-lain. Dan sebalikanya kalau tidak disinergikan dengan akal dan syariat, maka apabila congdong pada hal yang berlebihan disebut syarh (rakus) dan sebaliknya bila condong pada hal dikuran-kurangi disebut jumud (tidak ada kemajuan).
Singkatnya siapa yang dapat memposisikan diri di tengan dengan lurus (‘itidal) dalam empat dasar akhlak di atas, maka akhlaknya akan menjadi baik semuanya. Keempat akhlak ini, yakni hikmah, syaja’ah, ‘iffah dan adl adalah sumber pokok keutamaan dan akhlak yang lainnya adalah berupa cabang-cabangnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TEORI PENDIDIKAN