KEGIATAN
BELAJAR 3
AKHLAK TERHADAP DIRI SENDIRI
A.
Capaian Pembelajaran
Mampu
menganalisis kategori akhlak al-karimah yang manfaatnya kembali kepada diri
sendiri
B.
Sub CP/Indikator Kompetensi
1. Menemukan
kategorisasi akhlak yang ada hubungannya dengan diri sendiri.
2. Menganalisis
akhlak yang ada hubungannya dengan diri sendiri; khauf dan raja’,
malu, rajin, hemat dan istiqamah
3. Membedakan
sebab dan akibat dari akhlak al-karimah pada diri sendiri; khauf dan
raja’, malu, rajin, hemat dan istiqamah.
B. Uraian
Materi
1.
Hakekat Akhlak terhadap Diri Sendiri
Berbicara
akhlak adalah berbicara mengenai perbuatan baik dan buruk. Perbuatan baik yang
dimaksud adalah perbuatan yang membawa manfaat dan kemuliaan. Sebaliknya
perbuatan buruk maksudnya ialah perbutan yang menyebabkan kemadharatan dan
kehinaan.
Dengan
demikian dapat difahami bahwa akhlak terhadap diri sendiri dasarnya adalah
sifat jiwa yang sudah mendarah daging yang dapat menjadi inspirasi dan
mendorong perbuatan-perbuatan yang akibatnya kembali pada dirinya sendiri, baik
itu perbuatan yang bermanfaat maupun perbuatan yang madharat. Meski hakekatnya
tidak ada satupun manusia di dunia ini yang ingin mendapatkan keburukan apalagi
keburukan tersebut jelas dari akibat perbuatannya, tatapi realitanya banyak
orang yang berakhlak buruk terhadap dirinya sendiri
Sejatinya
apabila Saudara sudah beramal shalih, maka berarti Saudara telah berakhlak baik
kepada Allah Swt., kepada diri sendiri dan kepada sesama makhluk. Masih
ingatkan kan, pengertian amal shaleh dan hakekat implementasi imannya? Semua perbuatan yang dilakukan seorang hamba karena
Allah Swt. semata sebagai bentuk pengabdiannya, yakni amal yang implementasinya didasari dengan hakekat tauhid.
Akhlak yang mulia kepada diri sendiri adalah bagian dari amal
shalih. Sebagai contoh sifat malu. Sifat malu bisa baik dan sebaiknya bisa
buruk bagi seseorang. Apabila ia malu melakukan sesuatu karena Allah,
dipastikan ia malu meninggalkan perbuatan yang diperintahkan oleh-Nya, atau
melakukan perbuatan yang dilarang-Nya. Sifat malu seperti ini, adalah bagian
dari keshalehan seseorang dan akan memberikan manfaat bagi dirinya serta akan
menyebabkan ia akan menjadi orang mulia.
Bagaimana sudah nyambung? Mari kita lanjutkan sub bab
berikutnya!
2.
Macam-macam Akhlak terhadap Diri
Sendiri
Setelah
Saudara memahami dengan saksama mengenai akhlak terhadap diri sendiri,
bagaimana apa saja kira-kira yang termasuk akhlak terhadap diri sendiri? Ingat
indikatornya adalah sifat perbuatan yang langsung berpengaruh atau berakibat
baik atau memberi manfaat dan menjadikan derajatnya mulia bagi diri orang yang
menyandangnya. Sifat tersebut akan menagantar pemiliknya menjadi orang yang
sukses dunia akhirat.
Untuk
lebih memudahkan Saudara, berikut ini adalah beberapa sifat yang di masud di
atas, yaitu; khauf dan raja’, malu, rajin, hemat dan istiqamah.
Dengan kelima sifat tersebut apabila sudah terpatri dalam jiwa, insyaAllah
Saudara akan dapat menjadi pribadi sukses dunia akhirat.
Selanjutnya
mari kita bahas satu persatu:
a. Khauf dan Raja’
Secara bahasa, khauf
adalah lawan kata al-amnu. Al-Amnu adalah rasa aman, dan khauf
adalah rasa takut. Khaufa adalah perasaan takut terhadap siksa dan keadaan yang
tidak mengenakkan karena kemaksiatan dan dosa yang telah diperbuat.
Sedangkan raja’ adalah perasaan
penuh harap akan surga dan berbagai kenikmatan lainnya, sebagai buah dari
ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Bagi seorang muslim, kedua rasa ini mutlak
dihadirkan. Karena akan mengantarkan pada satu keadaan spiritual yang mendukung
kualitas keberagamaan seorang muslim.
Kenapa kita harus mempunyai sifat
khauf. Ada beberapa alasan: Pertama, supaya ada proteksi diri. Terutama dari perbuatan
kemaksiatan atau dosa. Karena, nafsu selalu menyuruh kita untuk melakukan
perbuatan buruk dan tidak ada kata berhenti dalam menjerumuskan kita. Oleh
karena itu, kita harus membuat nafsu menjadi takut. Seorang ahli hikmah berkata, “Suatu ketika
nafsu mengajak berbuat maksiat, lalu ia keluar dan berguling- guling di atas
pasir yang panas seraya berkata kepada nafsunya, “Rasakanlah! Neraka jahanam
itu lebih panas dari pada yang anda rasakan ini.”
Kedua, agar tidak ujub
atau berbangga diri dan sombong. Sekalipun kita sedang dalam zona taat, kita
harus selalu waspada terhadap nafsu. Perasaan paling suci, paling bersih dan
paling taat adalah di antara siasat halus nafsu. Karena itulah nafsu harus
tetap dipaksa dan dihinakan tentang apa yang ada padanya, kejahatannya,
dosa-dosa dan berbagai macam bahayanya.
Allah Swt. berfirman;
... فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ
هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى (النجم:32)
“… Jangan engkau merasa paling
suci, karena Aku tahu siapa yang paling bertakwa.” (QS an-Najm, 53: 32).
Berikutnya, kenapa manusia perlu memiliki
sifat raja’. Alasannya adalah pertama, agar tetap bersemangat dalam
ketaatan. Sebab berbuat baik itu berat dan setan senantiasa akan mencegahnya
dengan berbagai cara. Allah Swt. berfirman:
ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ
أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ (الأعراف:17)
Artinya:
Kemudian pasti aku akan
datangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan
Engka tidak akan mendapatka mereka banyak bersyukur. (Al-‘Araf/7: 17)
Imam al-Ghazali berkata,
“Kesedihan itu dapat mencegah manusia dari makan. Khauf dapat mencegah orang
berbuat dosa. Sedang raja’ bisa menguatkan keinginan untuk melakukan ketaatan.
Ingat mati dapat menjadikan orang bersikap zuhud dan tidak mengambil kelebihan
harta duniawi yang tidak perlu.
Kedua, agar tetap tenang dengan
berbagai kesulitan hidupnya. Ketika orang benar-benar menyukai sesuatu, tentu
ia sanggup memikul beban beratnya. Bahkan merasa senang dengan keadaan sulitnya
itu. Seperti orang yang mengambil madu di sarang lebah, ia tidak akan pedulikan
sengatan lebah itu, karena ingat akan manisnya madu.
Begitu pula orang-orang yang
tekun beribadah, mereka akan berjibaku apabila ia teringat surga yang indah
dengan berbagai kenikmatannya; kecantikan bidadaribidadarinya, kemegahan
istananya, kelezatan makanan dan minumannya, keindahan pakaian dan keelokan perhiasannya
dan semua yang disediakan Allah di dalamnya.
Di waktu yang lain, Imam
Al-Ghazali menjelaskan ketika ditanya, Manakah yang lebih utama di antara sikap
khauf dan raja`? Sang Hujjatul Islam menjawab dengan pertanyaan balik.
Mana yang lebih enak, roti atau air? Bagi orang yang lapar, roti lebih tepat.
Bagi yang kehausan, air lebih pas. Jika rasa lapar dan haus hadir bersamaan dan
kedua rasa ini sama-sama besar porsinya, maka roti dan air perlu diasupkan
bersama-sama, tambah sufi terbesar sepanjang masa ini.
Bagaimana kalau orang yang tidak
memiliki rasa takut dan tidak punya harapan? Tentu dia akan sembarangan dalam
beramal atau tidak mau berbuat apa-apa. Dan tentunya sulit dijelaskan bagaimana
ia bisa menjadi orang yang sukses.
b. Malu
Menurut bahasa
malu berarti merasa sangat tidak enak hati seperti hina atau segan
melakukan sesuatu karena ada rasa hormat, agak takut, kepada pihak lain. Sedang
menurut istilah adalah adalah sifat yang mendorong seseorang merasa
tidak enak apabila meninggalkan kewajiban-kewajiabannya sebagai hamba Allah Swt
dan meninggalkan larangan-larangan-Nya.
Malu adalah sifat atau perasaan
yang membentengi seseorang dari melakukan yang rendah atau kurang sopan. Ajaran
Islam mengajarkan pemeluknya memiliki sifat malu karena dapat menyebankan
akhlak seseorang menjadi tinggi. Orang yang tidak memiliki sifat malu,
akhlaknya akan rendah dan tidak mampu mengendalikan hawa nafsu.
Sifat malu merupakan ciri khas
akhlak orang beriman. Orang yang memiliki sifat ini apabila melakukan kesalahan
atau yang tidak patut bagi dirinya akan menunjukkan penyesalan. Sebaliknya,
orang yang tidak memiliki malu merasa biasa saja ketika melakukan kesalahan dan
dosa meskipun banyak orang mengetahuinya.
Perasaan malu
muncul dari kesadaran akan perasaan bersalah tetapi sebenarnya perasaan
malu tidak sama dengan perasaaan bersalah. Rasa malu merupakan perasaan tidak
nyaman tentang bagaimana kita dilihat oleh pihak lain, yakni Allah semata.
Sebagaimana konsep ihsan yang dijelaskan oleh Rasulullah sebagai berikut:
...أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ
لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ ... (رواه مسلم)
Artinya:
Kamu mengabdi (melakukan segala sesuatu
perbuatan) kepada Allah Swt. seakan-akan melihat kamu melihatnya, lalu jika
kamu tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu. (HR. Muslim)
Ibnul Qoyyim
menjelaskan dalam kitabnya Madarijus Salikin bahwa kuatnya sifat malu itu tergantung kondisi kualitas hatinya.
Sedikit sifat malu disebabkan oleh kematian hati dan ruhnya, sehingga semakin
hidup hati itu maka sifat malupun semakin sempurna. Beliau juga mengatakan,
Sifat malu darinya tergantung kepada pengenalannya terhadap Rabbnya. Atau
dengan kata malu adalah sifat yang melekat pada diri seseorang itu sangat
terkait dengan kualitas imannya.
Diriwayatkan
oleh Ibnu Umar dalam sebuah hadis Rasulullah Saw. sebagai berikut:
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «الْحَيَاءُ وَالْإِيمَانُ قُرِنَا جَمِيعًا، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا
رُفِعَ الْآخَرُ»
(رواه الحاكم)
Artinya:
Dari Ibn.
Umar ra. Berkata, Nabi Saw. bersabda:, Malu dan iman senantiasa bersama.
Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya. (HR. Hakim)
Islam menempatkan malu sebagai
bagian dari iman. Orang beriman pasti memiliki sifat malu. Orang yang tidak
memiliki malu berarti tidak ada iman dalam dirinya meskipun lidahnya menyatakan
beriman. Rasulullah SAW bersabda, ''Iman itu lebih dari 70 atau 60 cabang,
cabang iman tertinggi adalah mengucapkan 'La ilaha illallah', dan cabang
iman terendah adalah membuang gangguan (duri) dari jalan, dan rasa malu
merupakan cabang dari iman.'' (HR Bukhari-Muslim).
Apabila seseorang hilang malunya,
secara bertahap perilakunya akan buruk, kemudian menurun kepada yang lebih
buruk, dan terus meluncur ke bawah dari yang hina kepada lebih hina sampai ke
derajat paling rendah. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ
عُمَرَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «إِنَّ اللَّهَ
عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ عَبْدًا، نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ، فَإِذَا
نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ، لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا مَقِيتًا مُمَقَّتًا، فَإِذَا لَمْ
تَلْقَهُ إِلَّا مَقِيتًا مُمَقَّتًا، نُزِعَتْ مِنْهُ الْأَمَانَةُ، فَإِذَا نُزِعَتْ
مِنْهُ الْأَمَانَةُ، لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا خَائِنًا مُخَوَّنًا، فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ
إِلَّا خَائِنًا مُخَوَّنًا، نُزِعَتْ مِنْهُ الرَّحْمَةُ، فَإِذَا نُزِعَتْ مِنْهُ
الرَّحْمَةُ، لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا رَجِيمًا مُلَعَّنًا، فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا
رَجِيمًا مُلَعَّنًا، نُزِعَتْ مِنْهُ رِبْقَةُ الْإِسْلَامِ (رواه ابن ماجه)
Artinya:
Dari Ibn. Umar bahwasannya
Nabi Saw. bersabda, ''Sesungguhnya Allah apabila hendak membinasakan seseorang,
Dia mencabut rasa malu dari orang itu. Sesungguhnya apabila rasa malu seorang
hamba sudah dicabut, kamu tidak menjumpainya kecuali dibenci. Apabila tidak
menjumpainya kecuali dibenci, dicabutlah darinya sifat amanah. Apabila sifat
amanah sudah dicabut darinya maka tidak akan didapati dirinya kecuali sebagai
pengkhianat dan dikhianati. Kalau sudah jadi pengkhianat dan dikhianati,
dicabutlah darinya rahmat. Kalau rahmat sudah dicabut darinya, tidak akan kamu
dapati kecuali terkutuk yang mengutuk. Apabila terkutuk yang mengutuk sudah
dicabut darinya, maka akhirnya dicabutlah ikatan keislamannya.'' (HR Ibn Majah).
Ada tiga macam malu yang perlu
melekat pada seseorang, yaitu:
1). Malu kepada diri sendiri
ketika sedikit melakukan amal saleh kepada Allah dan kebaikan untuk umat
dibandingkan orang lain. Malu ini mendorongnya meningkatkan kuantitas amal
saleh dan pengabdian kepada Allah dan umat.
2). Malu kepada manusia. Ini penting karena dapat mengendalikan
diri agar tidak melanggar ajaran agama, meskipun yang bersangkutan tidak
memperoleh pahala sempurna lantaran malunya bukan karena Allah. Namun, malu
seperti ini dapat memberikan kebaikan baginya dari Allah karena ia terpelihara
dari perbuatan dosa.
3). Malu kepada Allah. Ini malu yang terbaik dan dapat membawa
kebahagiaan hidup. Orang yang malu kepada Allah, tidak akan berani melakukan
kesalahan dan meninggalkan kewajiban selama meyakini Allah selalu mengawasinya.
Sifat malu begitu penting karena
sebagai benteng pemelihara akhlak seseorang dan bahkan sumber utama kebaikan.
Maka dari itu, sifat ini perlu dimiliki dan dipelihara dengan baik. Sifat malu
dapat meneguhkan iman seseorang.
c. Rajin
Menurut bahasa
rajin berarti suka bekerja, getol (sungguh-sungguh bekerja), giat berusaha dan
kerapkali; terus-menerus. Kata rajin sangat terkenal dengan sebuah peribahasa
“rajin pangkal pandai”
Sifat rajin dapat
difahami sebagai kondisi jiwa yang dapat mendorong kesungguhan untuk melakukan
kegiatan tertentu secara terus-menerus dalam mencapai suatu tujuan.
Kebalikannya adalah sifat malas, sifat yang melekat dengan kuat di dalam sudah
yang mendorong seseorang tidak mau, segan atau tidak berminat melakukan
sesuatu.
Perlu difahami
bahwa perubahan kondisi dalam hidup kita sangat ditentukan dengan tingkat
keseriusan dan kerja keras yang kita lakukan. Allah Swt. tidak akan pernah
mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu berusaha untuk mengubah apa yang ada
di dalam dirinya. Allah Swt. berfirman sebagai berikut:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ
مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ (الرعد: 11)
Artinya:
Sesungguhnya Allah
tidak akan merubah nasib suatu kaum, sehingga mereka mau merubah apa yang ada
dalam diri mereka sendiri. (QS. Ar-Ra’du/13: 11)
Merubah sesuatu
yang ada di dalam diri mereka (manusia) yang dimaksud adalah merubah akhlaknya.
Terutama dalam hal ini merubah sifat-sifat yang membangun seperti sifat malas
menjadi rajin, boros/pelit menjadi hemat dan lain-lain. Siapa yang bau berubah
nasibnya menjadi lebih baik maka ia harus merubah sifat-sifat destruktif
menjadi sifat-sifat yang konstruktif.
Keberhasilan tak
akan pernah datang hanya dengan mengkhayal. Sunnatullah dalam kehidupan
ini menegaskan bahwa tidak mungkin kita kenyang hanya dengan mengkhayal, tetapi
rasa kenyang akan datang setelah kita makan, begitu pun juga kesulitan hanya
akan dapat diatasi ketika kita melakukan usaha untuk mengatasinya. Rezeki akan
datang ketika kita berusaha untuk menjemputnya, dan tidak akan pernah datang hanya
dengan bermimpi.
Pentingnya usaha
atau ikhtiar yang kita keluarkan dalam mencapai suatu tujuan yang kita harapkan
itu menjadi landasan penting dari kesungguhan kita dalam bertawakal kepada
Allah Swt. Bertawakal bukanlah berpasrah tanpa usaha, tawakkal ialah upaya yang
diawali kebulatan tekad, menyusun rencana yang matang berdasarkan kemampuan dan
ilmu yang kita miliki.
Jihad juaga jangan
hanya dimaknai sebatas mengangkat senjata, tapi pelajaran penting dari jihad
adalah bagaimana pentingnya motivasi untuk berusaha. Pergi ke medan perang
membutuhkan kekuatan lahir dan batin, butuh kekuatan untuk mengusir
rasa malas dan rasa takut.
Mungkin kita harus
merenungkan pula, jika saja para sesepuh dan tokoh bangsa ini di masa lalu tak
mampu mengusir rasa malasnya, nikmat kemerdekaan negara ini belum tentu
sebaik seperti yang kita rasakan pa
Terkait dengan
sifat malas sebagai penyakit yang harus diperangi, Rasulullah Saw.
mengajarkan kepada kita sebuah doa yang sering beliau panjatkan kepada Allah
Swt. seperti diriwayatkan dari Anas ra. sebagai berikut:
عَنْ
أَنَسٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَعَوَّذُ
بِهَؤُلَاءِ الْكَلِمَاتِ، كَانَ يَقُولُ: «اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْكَسَلِ،
وَالْهَرَمِ، وَالْجُبْنِ وَالْبُخْلِ، وَسُوءِ الْكِبَرِ، وَفِتْنَةِ الدَّجَّالِ،
وَعَذَابِ الْقَبْرِ»
Artinya
Dari Anas berkata, dalu Rasulullah
Saw. mohon perlindungan kepada Allah dengan kalimat-kalimat ini. Beliau berdoa,
“Ya Allah ya Tuhan kami, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari keluh kesah
dan dukacita, aku berlindung kepada-Mu dari lemah kemauan dan malas, aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan
kikir, aku berlindung kepada-Mu dari tekanan utang dan kezaliman manusia.” (HR
Baihaqi)
Melalui doa
tersebut, Rasulullah Saw. mengajarkan kepada kita, bahwa sosok seorang muslim
sejati haruslah tergambar sebagai sosok yang penuh semangat, memiliki motivasi
tinggi dan rajin dalam mengejar kesuksesan, dermawan, mandiri, serta peduli
terhadap sesama.
Tidak patut
disebut sebagai seorang muslim sejati, jika kita senantiasa
mengeluh, malas, takut, dan kikir, bahkan selalu bergantung kepada orang
lain dan sering berbuat zalim. Ingatlah bahwa surga Allah Swt. tak akan dapat
kita raih hanya melalui lamunan dan angan-angan, tapi harus diraih dengan
semangat yang tinggi untuk konsisten dalam jalan hidup yang diridai Allah Swt.
Seorang muslim harus rajin dalam segala hal; rajin beramal, belajar, bekerja,
dan berbagai usaha untuk memperbaiki kualitas diri sehingga menjadi orang yang
terbaik, sukses hidupnya dunia akhirat.
d. Hemat
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indosenia hemat diartikan dengan berhati-hati dalam membelanjakan uang. Semenjak Saudara ada di bangku sekolah
dasar, pasti Saudara sudah hafal betul dengan pepatah yang satu
ini, "Hemat Pangkal Kaya". Seakan atau sepintas hemat hanya
berhubungan dengan harta.
Hemat Pangkal Kaya dimaknai, apabila kita senang menabung
alias hidup hemat dalam kehidupan sehari-hari, maka kita bisa dengan mudah
mencapai apa yang kita inginkan atau kita dambakan. Bahkan, tidak mustahil jika
ingin menjadi orang yang sukses juga harus hemat.
Hemat dalam kehidupan sehari-hari adalah sifat jiwa yang
sudah menyatu dengan dirinya yang dapat mendorong seseorang menggunakan segala
sesuatu yang dimilikinya, baik harta, tenaga maupun waktu sesuai dengan
kebutuhan. Hemat berarti tidak boros dan juga tidak kikir atau pelit.
Orang-orang yang hemat bisa menahan nafsunya untuk tidak membeli barang yang
tidak penting. Orang yang hemat akan berusaha dengan upaya yang maksimal untuk
membeli dan memenuhi kebutuhannya, meskipun dalam kondisi serba kekurangan.
Sikap boros dilarang oleh ajaran agama Islam sebagaimana
firman Allah sebagai berikut:
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا
إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا (الاسراء: 27)
Artinya:
Sesungguhnya mubadzir itu adalah teman setan. Dan
setan itu ingkar kepada Tuhannya (QS. Al-Isra’/17:27)
Sementara pelit atau bakhil itu adalah sesuatu yang dibenci
oleh Allah Swt. dan menyebabkan jauh dari rahmat-Nya. Rasulullah Saw. bersabda:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «السَّخِيُّ
قَرِيبٌ مِنَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الجَنَّةِ قَرِيبٌ مِنَ النَّاسِ بَعِيدٌ مِنَ النَّارِ،
وَالبَخِيلُ بَعِيدٌ مِنَ اللَّهِ بَعِيدٌ مِنَ الجَنَّةِ بَعِيدٌ مِنَ النَّاسِ قَرِيبٌ
مِنَ النَّارِ (رواه الترمذي)
Artinya:
Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi Saw. bersabda,
‘Sifat dermawan itu dekat kepada Allah, dekat dari surga, dekat dengan manusia
dan jauh dari neraka. Sedangkan sifat
kikir itu jauh dari Allah, jauh dari surga, jauh dengan manusia dan dekat
dengan neraka (HR.
At-Turmudzi)
Bagaimana menurut Saudara, apakah hemat itu lawan dari boros?
Saya berharap Saudara mulai faham kalau hemat adalah sifat yang terbaik dan
yang terbaik adalah yang ada di tengah. Hemat bukan boros dan juga bukan pelit.
Sementara dermawan adalah memberikan sesuatu yang kita miliki sesuai dengan
yang disyariatkan Allah sedang pelit adalah menahan hak orang lain yang ada
pada diri kita.
Hemat adalah membelanjakan apa yang kita punya secara
sempurna. Allah Swt. berfirman:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا
لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا (الفرقان: 67)
Artinya:
Dan orag-orang yang membelanjakan (hartanya)
dengan tidak berlebih dan tidak pelit. Dan pembelanjaannya itu sempurna
diantara yang demikian itu (QS.
Al-Furqan/25:67).
Di era
modern ini, kebanyakan masyarakat memiliki pola hidup yang konsumtif.
Ini tentu sangat susah dihilangkan apabila sudah melekat di dalam diri
masing-masing. Dengan perilaku yang super konsumtif ini, maka akan membuat
kesenjangan sosial menjadi lebih terlihat mencolok. Hal ini juga yang akan
menimbulkan dan meningkatkan kecemburuan sosial di dalam kehidupan
bermasyarakat.
Selanjutnya
hemat juga berlaku pada hal-hal selain dalam penggunaan barang/harta dan uang. Orang
yang hemat juga pandai dalam menggunakan kesempatan dan waktu. Ia akan membuat rencana dan jadwal untuk
menggunakan waktu, sehingga tidak ada waktu yang terbuang sia-sia karena hanya
sebuah alasan yang tidak jelas. Sangat penting bagi kita apabila bisa
menggunakan waktu dengan hal-hal yang positif dan bermanfaat.
Betapa
pentingnya kita untuk bisa mengatur waktu, hemat dengan karunia kesempatan
waktu yang sudah Allah Swt. berikan kepada kita. Dia yang Maha Mengatur
beberapa kali bersumpah terkait dengan waktu. Diantaranya adalah sebagai
berikut:
وَالْعَصْرِ. إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ. إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (العصر: 1-3)
Artinya:
Demi waktu ashr, sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling menasehati dalam kebenaran dan
saling menasehati dalam kesabaran (QS.
Al-‘Ashr/103: 1-3)
Waktu merupakan sesuatu
yang berharga dalam setiap kehidupan seseorang. Banyak orang yang gagal
memperoleh kesuksesan karena beranggapan bahwa waktu yang tersedia terbatas. Padahal
waktu yang diberikan kepada kita hakekatnya sama, satu tahun 12 bulan atau 365
hari, satu hari 24 jam dan seterunya. Masalahnya adalah bagaimana kita dapat
mengatur waktu, menghemat waktu.
Keberhasilan kita
dalam mengelola waktu dengan baik dapat membantu kita menghadapi stress yang dapat
menimpa pada sitiap orang. Dalam hal ini, kegiatan mengatur waktu menjadi
penting bagi kita dan harus dilakukan oleh setiap pribadi yang ingin
hidupnya lebih teratur, terarah, sehat dan terkendali dan tentunya terhindar
dari stress.
Proses mengatur
waktu dimulai dengan mengidentifikasi sejumlah kegiatan yang biasa kita lakukan
setiap harinya, dengan kata lain mengidentifikasi kegiatan rutinitas kita
setiap harinya. Hal ini akan memudahkan kita mengatur dan mengorganisir setiap
kegiatan satu per satu dan menempatkannya pada kuadran waktu yang telah kita
tentukan.
Bagaimana pendapat
Saudara tentang hubungan hemat dan akhlak terhadap diri sendiri? Mudah-mudahan
Saudara faham dan mengerti. Yang jelas orang yang hemat berarti ia telah
berbuat baik kepada diri sendiri. Ia akan menjadi orang yang bisa menahan diri dalam menggunakan karunia Allah, pandai mengelola nikmat terutama sehat dan
waktu, sehingga kita dapat berharga bagi orang lain, merasakan
kebahagian tanpa penyesalan, dan bisa hidup sederhana.
e. Istiqamah
Menurut bahasa Istiqomah berarti “lurus, menjadi lurus atau tegak lurus”, adalah
bentuk mashdâr dari fiil istaqama – yastaqimu istiqamatan (Almunawwir; 1173), atau jalan yang lurus
dan benar (Mufradat Alfazh al-Qur’an, hlm. 692) juga berarti tetap beramal
berdasarkan agama tauhid, tidak kembali pada kemusyrikan (Al-Maraghi, Juz 24:
hlm. 127).
Menurut Istilah istiqamah
adalah kata yang mencakup semua urusan agama yakni mendirikan (melaksanakannya
secara sempurna) dan menunaikan janji terkait dengan ucapan, perbuatan, keadaan
dan niat dengan sebenar-benarnya kehadirat Allah Swt. (Ibn. Qayyim, Madarid
as-Salikin, Juz III, h. 1708)
Abdur Razaq mendefinisikan bahwa istiqamah itu
menuju jalan yang lurus yakni agama yang sempurna dari keterpihakan ke kanan
atau ke kiri, mencakup ketaatan lahir dan batin terhadap pelaksanaan perintah
dan meninggalkan larangan sehingga dapat dikatakan sebagai wasiat ketaatan
agama secara menyeluruh (Asyru Qawaid fi al-Istiqamah, hal. 13)
Dengan demikian dapat difahami bahwa istiqamah adalah
sifat yang sudah menyatu dengan jiwa seseorang yang mendorong untuk melakukan jalan
yang lurus (benar) berupa ketaatan mutlak kepada Allah Swt. secara konsisten
dan terus menerus dalam keadaan apapun dan di mana pun ketika menjalankan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ketaan kepada Allah Swt.
yang dawam (terus-menerus) merupakan bagian penting dari Istiqamah.
Jiwa
yang istiqamah adalah jiwa yang muttaqin sejati.
Siapa yang dapat menjaga ketakwaannya berarti dia berkhlak mulia kepada Rabnya
sekaligus kepada dirinya sediri. Bahkan ia juga berakhlak baik kepada semua
makluk Allah Swt. Kebaikan dan keutamaan yang kembali pada diri orang yang istiqamah adalah
mendapat jaminan menjadi kekasih Allah. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an
sebagai berikut:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ
اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا
وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ. نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ
وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ. نُزُلًا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ (فصلت:30-32)
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan bahwa “Tuhan
kami adalah Allah, kemudian mereka istiqamah, maka turunlah
malaikat-malaikat kepada mereka sembari
berkata “Janganlah kalian takut dan jangan pula bersedih dan
bersenang-senanglah dengan surge yang telah dijanjikan kepada kalian”. Kami
adalah pelindung-pelindung kalian dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.
Di dalamnya terdapat sesuatu untuk kalian yang kalian inginkan dan kalian
minta. Sesuatu yang turun dari Tuhan yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
(QS Fussilat/41:30 -32)
Orang
yang istiqamah, konsisten jalan pikirannya, ucapan dan perbuatannya akan
selalu mendapatkan kemudahan dalam menghadapi kesulitan, akan mendapatkan
pertolongan dari Dzat yang Maha segalanya. Baginya yang susah akan jadi mudah,
yang jauh akan jadi dekat, yang sedikit akan jadi banyak dan seterusnya.