Senin, 24 Februari 2020

KEGIATAN BELAJAR 1


KEGIATAN BELAJAR 1
KEKUATAN JIWA YANG MEMBENTUK AKHLAK AL-KARIMAH

A.  Capaian Pembelajaran

Mampu menganalisis hakekat  akhlak dan kekuatan pendukungya dalam jiwa manusia

B.   Sub CP/Indikator Kompetensi

1.      Mendefinisikan hakekat akhlak al-karimah.
2.      Membedakan potensi-potensi jiwa;  Quwwah al-Ilmi, Quwwah al-Ghadhab, Quwwah asy-Syahwah, dan Quwwah al-‘Adalah dalam jiwa manusia.
3.      Menganalisis terbentuknya akhlak al-karimah dengan sumber-sumber kemuliaan; hikmah, syaja'ah, iffah,  dan ‘adalah

C.  Uraian Materi
1.  Definisi Akhlak al-Karimah
Bagaimana Saudara sudah siap untuk mengkaji definisi akhlak? Saudara tidak perlu tegang atau takut. Ingat tidak ada yang susah kalau Saudara sudah bisa. Dan tidak ada yang tidak bisa diraih kalau Saudara sungguh-sungguh  من جد وجد
 Baik, kita mulai fahami menurut bahasa terlebih dahulu.
Menurut bahasa kata Akhlak dalam bahasa Arab merupakan jama’ dari خلق/khuluqun yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, sopan santun atau tabiat. Kata tersebut mengandung segi persesuaian dengan perkataan خلق/khalqun berarti kejadian, yang juga erat hubungannya dengan خالق/khalik yang berarti pencipta, demikian pula مخلوق/makhluqun yang berarti yang diciptakan. Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluk (Mushtofa, Akhlak Tasawuf, 2008: 11)
 Sudah nyambung? Coba selanjutnya Saudara fahami beberapa definisi akhlak menurut para ahli berikut:
a. Ibnu Miskawih
الخلق حال للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر ولا روية
“Akhlak adalah kondisi jiwa yang mendorong tindakan-tindakan tanpa perlu berpikir dan pertimbangan lagi” (Ibn. Miskawaih, Thadzib al-Akhlaq, 1985; 25)
Kondisi jiwa seseorang dalam definisi Ibn Miskawaih di atas merupakan kondisi jiwa yang sudah terbiasa melakukan tindakan-tindakan tertentu, sehingga tindakan-tindakan tersebut seakan sudah mendarah daging, mereka akan melakukannya secara sepontan ketika mendapatkan stimulus tertentu.

b. Al-Ghazali
الخلق عبارة عن هَيْئَةٌ فِي النَّفْسِ رَاسِخَةٌ عَنْهَا تُصْدِرُ الْأَفْعَالَ بِسُهُولَةٍ وَيُسْرٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ إِلَى فِكْرٍ وَرَوِيَّةٍ

“Akhlak ialah gambaran keadaan jiwa berupa sifat-sifat yang sudah mendarah daging yang mendorong dilakukannya perbutan-perbuatan dengan mudah lagi gampang tanpa berfikir panjang” (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005; 890)
Gambaran sifat-sifat jiwa yang sudah terlatih dan juga sudah mendarah daging yang dapat menjadi sumber inspirasi dan mendorong tindakan-tindakan yang bersifat spontan. Tindakan-tindakan seperti inilah yang dapat dikategorikan sebagai akhlak. Apabila seuatu perbuatan dilakukan dengan mempertimbangkan dahulu, apa untung ruginya bagi si pelaku perbuatan tersebut, maka belum dikatakan sebagai akhlak.

c. Prof. Dr. Ahmad Amin
Seorang ahli Ilmu Akhlak modern, yakni Ahmad Amin dalam bukunya Kitab al-Akhlaq, menegaskan bahwa pada dasarnya akhlak adalah kehendak yang dibiasakan, bukan perbuatan yang tidak ada kehendaknya. Seperti bernafas, denyut jantung, kedipan mata dan lain-lain (Ahmad Amin, Kitab al-Akhlaq, 2012; 10).
Akhlak merupakan perbuatan yang mudah dilakukan karena telah didik dengan membiasakannya dalam kehidupan sehari-hari.  Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan melalui ikhtiar. Pelakunya mengetahui baik atau buruk dari perbuatan yang dilakukannya. Karena perbuatan akhlak juga termasuk perbuatan yang kelak akan dipertanggung-jabawkan di hadapan Allah Swt. 
Selain tiga tokoh  ahli dalam bidang akhlak tersebut di atas sebenarnya masih banyak, tetapi pada dasarnya sama bahwa akhlak unsurnya terdiri dari perbuatan sadar (ada iradah dan ikhtiar) yang didorong oleh sifat-sifat yang sudah terbiasa sehingga sekan-akan spontan dan terkesan tidak usah dipikirkan sebelumnya.
Selamat, Saudara telah berhasil memahami apa itu definisi akhlak. Kalau masih ada waktu coba baca sekali lagi! Selanjutnya dalam KB 1 ini Saudara akan menganalisis unsur-unsur yang ada di dalam jiwa Saudara yang dapat mempengaruhi terbentuknya akhlak.

A.    Kekuatan Jiwa dan Sumber Terbentuknya Akhlak al-Karimah

Setelah Saudara mendalami berbagai pendapat mengenai definisi akhlak, kira-kira Bagaimana pendapat Saudara? Apakah akhlak seseorang bisa terbentuk dengan sendirinya? Ataukah harus dibentuk dengan mendidik dan membiasakan sampai betul-betul mendarah daging dalam dirinya? Tentunya Saudara akan setuju kalau akhlak seseorang itu harus dididik dan dibiasakan secara terus menerus dalam lingkungannya di mana ia tinggal sampai benar-benar melekat dalam jiwanya.
Dalam rangka pembentukan akhlak seseorang, Saudara perlu terlebih dahulu memahami kekuatan-kekuatan jiwa yang dapat mendorong terbentuknya akhak tersebut. Baik  bacalah dengan saksama penjelasan berikut ini:
Ibu Miskawaih menjelaskan bahwa di dalam jiwa seseorang itu terdapat tiga kekuatan (al-quwwah) yang sangat penting dalam membentuk akhlak manusia. Sementara Imam Al-Ghazali menyebutkan sebagai Ummahat al-Akhlaq wa Ushuluha dengan ditambahkan satu kekuatan (al-quwwah) sehingga genap menjadi empat kekuatan (al-quwwah) (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005; 936), keempatnya adalah sebagai berikut:

1. Quwwah al-Ilmi
Quwwah al-Ilmi adalah kekuatan yang berasal dari akal. Dengan akal inilah manusia dapat dengan mudah membedakan mana yang jujur dan mana yang bohong dalam berbicara, mana yang benar dan mana yang salah dalam mengambil keputusan, mana yang baik dan mana yang buruk dalam bertindak. Kekuatan inilah yang menjadi pembeda manusia dengan jenis binatang. Dengan akal manusia dapat mencipta dan mengembangakan budaya sehingga terus berkembang ke arah yang lebih baik dan lebih maju dari sebelumnya.
Buahnya adalah hikmah, yakni pemahaman yang mendalam tentang segala sesuatu sesuai dengan syariat Allah Swt. Sebagaimana firman-Nya:
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ (البقرة:269)
Artinya:
“Dia berikan hikmah kepada yang Dia kehendaki dan Siapa yang diberikan al-hikmah maka sesungguhnya dia telah diberikan kebaikan yang sangat banyak. Dan hanya orang-orang memiliki akal fikiranlah yang mampu memahaminya”. (QS. Al-Baqarah/2:169)
Al-Maraghi menjelaskan bahwa yang dimaksud hikmah adalah ilmu yang bermanfaat, yakni ilmu yang dapat mempengaruhi jiwa pemiliknya dan membimbing kehendaknya untuk mendorong melakukan tindakan-tindakan yang dapat membawa manfaat dan kebahagiaan dunia akhirat (Al-Maraghi Jilid III, h. 40)
Hikmah dalam pengertian di atas, apabila dimiliki seseorang bisa menjadi salah satu sumber penting dalam pembentukan akhlak yang mulia. Dan inilah tujuan utama diutusnya Nabi Kita Muhammad Saw. ke dunia ini. Sebagaimana sabda beliau. berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ" (رواه احمد)
Dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak” (H. R. Ahmad)
Coba perhatikan fenomena dunia zaman sekarang! Banyak orang kelihatannya berilmu, tapi ilmunya kurang atau bahkan tidak dapat membimbing kehendaknya untuk mendorong melakukan tindakan-tindakan yang dapat membawa manfaat dan kebahagiaan dunia akhirat. Kenapa? Jawabnya sederhanya karena ilmunya tidak mengandung hikmah.
Bagaimana, sekarang sudah mulai nyambung? Kita lanjutkan, memahami konsep hikmah.
Hikmah sebagai konsep itu mencakup empat turunan, yakni: husnu at-tadbir (baik pemikirannya), judat adz-dzihn (jernih pemikirannya), tsiqabah ar-ra’yi (tajam pemikirannya) dan shawab azh-zhann (tepat pemikirannya) (Al-Ghazali, Mizan al-‘Amal, 1964; h. 284)
Mari kita analisis konsep turunan hikmah tersebut di atas satu persatu.

a. Husnu at-Tadbir
Seseorang  yang memiliki hikmah akan menjadi husnu at-tadbir yakni cerdas dan lurus jalan fikirannya dalam mengistimbatkan (mengambil kesimpulan).  Ia akan bisa mengambil yang terbaik, dan paling bermanfaat dalam berbagai urusan, sesulit apapun dan segawat apapun. Ia tidak sekedar cerdas (kayyis), tetapi mampu memikirkan hal-hal yang abstrak dengan benar sehingga dapat mengambil keputusan yang menghasilkan kebaikan-kebaikan yang agung dan akhir yang mulia dalam berbagai urusan kehidupan.
 b. Jaudat adz-Dzihn

Seseorang  yang memiliki hikmah akan menjadi jaudat adz-dzihn, yakni memiliki kemampuan untuk dapat berfikir memperoleh kebijaksanaan ketika dihadapkan pada pendapat yang mirip-mirip dan mengandung pertentanagan-pertentangan dalam implementasi. Ia akan selalu mendapatkan kosep yang memberikan manfaat sesamanya dan diterima oleh berbagai pihak.

c. Tsiqabah ar-Ra’yi
Seseorang  yang memiliki hikmah akan menjadi tsiqabah ar-ra’yi, yakni mempunyai kecepatan kemampuan dalam menghubungkan data-data yang dimilikinya dengan sebab akibat yang mengasilkan kemaslahatan dalam kehidupan masyarakat.

d. Shawab azh-Zhann
Seseorang  yang memiliki hikmah akan menjadi shawab azh-zhann, yakni ia akan mendapatkan taufiq dari Allah Swt. dengan kesesuaian antara dugaan yang terdapat dalam alam fikirannya dengan kebenaran hakiki tanpa harus lama-lama memikirkannya.

Kebalikan dari Quwwah al-Ilmi adalah lemahnya ilmu atau kebodohan, terbagi dalam dua konsep, yaitu radzilah al-khibb dan radzilah al-balah.  Radzilah al-khabb terdiri dari ad-dahaa  (tertipu) dan al-jarbazah (lemah berfikir) yaitu. Logikanya kurang sehat atau kurang lurus sehingga ketika mengambil kesimpulan sering kali tidak benar, apa yang dikatakannya baik ternyata buruk atau sebaliknya.
Sementara radzilah al-balah terdiri dari tiga hal; pertama kebodohan sebab karena kurang pengalaman belajar, kedua kebodohan sebab dari bawaan seperti idiot dan ketiga kebodohan sebab hilangnya akal atau gila.
Ilmu dalam bentuk hikmah seperti dijelaskan di atas sangat penting dalam membentuk menanamkan dan mendidik akhlak seseorang, karena ia dapat membentuk konsep diri (manset) seseorang. Apabila konsep diri seseorang tentang perbuatan itu baik, maka kelak ia akan menjadi baik perbuatannya, sebaliknya apabila konsep dirinya buruk maka mereka akan menjadi buruk perbuatannya pula.
Selesai sudah pembahasan Quwwah al-Ilmi. Apa Saudara masih sanggup melanjutkan? Hayoo … kita lanjutkan pembahasan mengenai kekuatan jiwa yang ke dua yaitu  Quwwah al-Ghadhab.

2. Quwwah al-Ghadhab
Quwwah al-Ghadhab merupakan dorongan manusia untuk menolak yang tidak disenangi dan memdapatkan kenikmatan yang bersifat abstrak dan batin. Dimana ia bisa menghasilkan sifat utama yang dapat menjadi sumber akhlak yang mulia serta  menumbuhkan kebaikan-kebaikan yakni sifat syaja’ah (keberanian) (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005; 936). Dengan sifat syaja’ah manusia bisa berani berkorban apa saja untuk meraih kebahagian dan kemuliaan batinnya. Dan bahkan ia akan berani berkorban tidak hanya dengan apa yang dimilikinya tetapi juga berani maju mengorbankan jiwa raganya demi kemuliaan dan kebahagiaan yang diyakininya benar. 
Bagaimana setelah membaca alinea di atas? Apa yang ada di dalam fikiran Saudara mengenai hubungan konsep  Quwwah al-Ghadhab dan Syaja’ah? Untuk lebih fahamnya mari kita lanjutkan!
Syaja’ah menurut al-Ghazali dalam kitab Mizan al-Amal meliputi banyak sifat turunannya, diantara lain adalah sebagai berikut:
a. Al-Karam (kebaikan budi), yaitu berani mengambil sikap moderat untuk mengambil atau menerima keputusan penting  dalam berbagai masalah yang menyangkut kemaslahatan yang besar dan urusan-urusan yang mulia.  
b. An-Najdah (membantu, menolong), yaitu berani dalam membantu atau menolong siapapun, apalagi menolong hal yang benar, baginya merupakan jihad. Bukan penekad juga bukan penakut, apabila sudah menyakini sebuah kebenaran maka harus berani maju, meskipun harus mempertaruhkan jiwa demi kemuliaan abadi.
c.   Kibr an-Nafs (berjiwa besar), bukan sombong juga bukan rendah diri (mider). Ia berani menjadikan dirinya sebagai ahli dalam hal kemuliaan dengan penuh kerendahan hati dan menghindari perdebatan pada urusan-urusan yang sedikit manfaatnya. Ia sangat menghormati ulama.
d.   Al-Ihtimal (ketahanan dalam bekerja), berani bertanggung jawab menahan diri dalam menjalankan tugas, meski dirasa sangat berat.
e.  Al-Hilm (santun), ia dapat menahan emosi yang biasanya meledak-ledak, tidak  terpancing dalam keadaan apapun dan marah. Sikapnya tetap santun dalam menghadapi semua orang, ia sudah dapat lepas dari sikap yang buruk dalam menghadapi orang lain atas gejolak jiwa suka dan tidak suka.
g.   Al-Wiqar (tenang), menahan diri dari berbicara secara berlebihan, kesia-siaan, banyak menunjuk dan bergerak dalam perkara yang tidak membutuhkan gerakan. Mengurangi amarah, tidak banyak bertanya, menahan diri dari menjawab yang tidak perlu, menjaga diri dari ketergesaan dalam beramal, dan bersegera dalam seluruh perkara kebaikan.
Perlu Saudara ketahui bahwa Quwwah al-Ghadhab, juga dapat mendorong perbutan yang buruk bagi seseorang. Apa itu?  Jawabnya adalah at-Tahawwur dan al-Jubn. Dengan adanya dorongan manusia dari dalam dirinya untuk memdapatkan kenikmatan yang bersifat abstrak dan batin berupa kemuliaan atau kekuasaan manusia bisa Tahawwur (nekad) yakni berani melakukan tindakan yang bukan pada tempatnya (Sultoni Dalimunthe, Filsafat Pendidikan Akhlak , h. 149). Misalnya berani maju ikut tawuran, padahal belum mengetahui mana yang benar dan mana yang salah dan resikonya bisa mati terbunuh.
Juga karena di dalam diri manusia ada dorongan ingin tetap mendapatkan kenikmatan yang bersifat abstrak dan batin berupa kemuliaan atau kekuasaan, maka ia bisa  bersifat Jubn (pengecut), sifat takut yang berlebihan dalam mempertahankan diri dari berbagai masalah kehidupan. Misalnya takut mengadapi ujian, padahal ujian adalah satu cara yang harus dilalui oleh siapapun yang ingin meningkatkan dan memperbaiki nasib dan derajatnya.
Bagaimana, cukup faham sudah? Kalau sudah kita lanjutkan pada bahasan berikutnya, yakni  Quwwah asy-Syahwah

3. Quwwah asy-Syahwah
Al-Quwwah asy-Syahwah yaitu kekuatan yang ada dalam diri manusia yang yang  mendorong perbutan-perbuatan untuk memperoleh kenikmatan-kenikmatan yang bersifat zhahir, yang dinspirasi oleh panca indranya seperti: mencari makanan dan minuman, mencintai lawan jenis dan lain-lainnya. Dengan kekuatan ini manusia menjadi lebih bergairah dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan. Quwwah asy-Syahwah yang baik disebut al-iffah.
Seorang dikatakan sebagai orang yang ‘affih apabila yang mampu menahan diri dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah Swt. Dengan demikian seorang yang 'afif adalah orang yang bersabar yakni taat muthlak kepada Allah Swt. baik dalam menjalankan perintah-perintah-Nya, maupun meninggalkan lawangan-Nya walaupun jiwanya (syahwatnya) sangat menginginkan untuk melanggarnya.
'Iffah merupakan  akhlaq yang sangat dicintai oleh Allah Swt. Oleh sebab itulah sifat ini perlu dilatih sejak anak-anak masih kecil, sehingga memiliki kemampuan dan daya tahan terhadap keinginan-keinginan yang tidak semua harus dituruti karena akan membahayakan saat telah dewasa. Dari sifat 'iffah inilah akan lahir sifat-sifat mulia. Diantara sifat-sifat terpuji turunan dari sifat 'Iffah adalah sebagai berikut:
a. الحياء /haya’, adalah sifat malu untuk meninggalkan perbuatan yang diperintahkan oleh Allah Swt. dan sebaliknya malu melakukan perbutan yang dilarang oleh-Nya. Apabila jiwa manusia semua sudah memiliki sifat malu seperti ini, niscaya tidak ada lagi tindak kejahatan dimuka bumi ini. Sehingga bumi akan aman, tentram dan damai.  Karena malu akan menjadi benteng terakhir bagi diri seseorang dalam melakukan kemaksiatan
b.  القناعة/qana'ah, adalah sifat menerima atau merasa cukup atas karunia Allah Saw., sekaligus menjauhkan diri dari sifat tidak puas dan merasa kekurangan yang berlebih-lebihan. Qanaah muncul dalam kehidupan seseorang berupa sikap rela menerima keputusan Allah Swt. yang berlaku bagi dirinya. Bagi siapa yang dapat menjadikan dirinya qana'ah, maka ia akan dijamin akan mendapatkan hakekat dunia, menjadi orang yang beruntung, mudah bersyukur, terhindar dari sifat hasud dan terhindar dari problema kehidupan dunia.
c.   السخاء/sakha’, yaitu sifat dermawan senanga memberikan harta dalam kondisi memang wajib memberi, sesuai kepantasannya dengan tanpa mengharap imbalan dari yang diberi dalam bentuk apapun seperti pujian, balasan, kedudukan, ataupun sekedar ucapan terima kasih (QS. Al-Insan/76:9).
Jadi seseorang disebut dermawan jika dapat memberi secara tulus ikhlas. Orang yang memberi karenan ingin balasan dari pihak yang diberi bukanlah dermawan tapi disebut berdagang. Sebab ia seolah-olah membeli balasan berupa pujian, kedudukan, ucapan terima kasih dan lainnya dengan hartanya.
d. الورع/wara’, yaitu meninggalkan hal-hal yang syubhat karena khawatir membahayakan nasibnya di akhirat kurang baik. Meninggalkan yang syubhat, yakni sesutau yang hukumnya belum jelas halal atau haram yang berlaku dalam semua aktifitas manusia, baik yang berupa benda maupun perilaku. Dan lebih dari itu meninggalkan segala hal yang kurang atau tidak bermanfaat.
Perlu Saudara ketahui juga bahwa Quwwah asy-Syahwah, dapat mendorong perbutan yang buruk bagi seseorang. Apa itu?  Jawabnya antara lain; rakus, tabdzir, ria, hasud dan lain-lain.
Bagaimana, faham? Kalau sudah,  kita lanjutkan pada bahasan berikutnya, yakni  Quwwah al-‘Adl
4. Quwwah al-‘Adl
Menurut al-Ghazali, terbentuknya akhlak yang mulia pada diri seseorang diperlukan lagi satu kekuatan, yaitu Al-Quwwah al-‘Adl, sebuah kekuatan penyeimbang dari ketiga kekuatan jiwa sebelumnya (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005; 935).  Sementara Ibnu Miskawaih meskipun tidak menyebutkan secara khusus adanya Al-Quwwah al-‘Adl, tetapi dalam penjelasnnya juga mengkaitkannya dengan ketiga kekuatan jiwa tersebut.
Tiga kekutan jiwa manusia yang menjadi dorongan tingkah lakunya akan menjadi baik kalau bersinergi secara adil (keseimbang). Quwwah al-Ilmi akan menjadi sumber kebaikan kalau sudah menuntun dengan mudah untuk membedakan yang benar dan yang salah dalam keyakinan, yang baik dan yang buruk dalam perbuatan serta yang jujur dan yang bohong dalam berkata-kata. Atau dengan kata lain ilmunya sudah menjadi hikmah.
Quwwah al-Ghadhab, akan menjadi baik apabila dapat dikendalikan oleh akal yang sehat dan syariat, sehingga menghasilkan sifat (syaja’ah) yang menjadi sumber berbagai akhlah yang baik. Apabila tidak mengikuti tuntunan akal dan syariat condong pada hal yang berlebih, maka dinamakan tahawwur (nekad). Tetapi bila condong pada sifat lemah dan pengurangan, maka dinamakan jubn (takut yang berlebihan).
Kemudian Quwwah asy-Syahwah, akan menjadi baik apabila dapat terdidik oleh akal dan syariat, maka ia akan menghasilkan sifat ‘iffah yang menjadi sumber dari berbagai akhlak yang mulia, seperti malu, sabar, qanaah, wara, zuhud dan lain-lain. Dan sebalikanya kalau tidak disinergikan dengan akal dan syariat, maka apabila congdong pada hal yang berlebihan disebut syarh (rakus) dan sebaliknya bila condong pada hal dikuran-kurangi disebut jumud (tidak ada kemajuan).
Singkatnya siapa yang dapat memposisikan diri di tengan dengan lurus (‘itidal) dalam empat dasar akhlak di atas, maka akhlaknya akan menjadi baik semuanya. Keempat akhlak ini, yakni hikmah, syaja’ah, ‘iffah dan adl adalah sumber pokok keutamaan dan akhlak yang lainnya adalah berupa cabang-cabangnya.


KEGIATAN BELAJAR 2


KEGIATAN BELAJAR 2
AMAL SHALIH


A.  Capaian Pembelajaran

Mampu menganalisis hakekat amal shaleh dan unsur-unsur iman yang mendasari dalam implementasinya.

B.   Sub CP/Indikator Kompetensi
1.      Mendefinisikan hakekat amal Shalih.
2.      Menganalisis terbentuknya amal Shalih, berdasarkan konsep iman; tawakkal, ikhlas, shabar, dan syukur.
3.      Membedakan antara amal Shalih dan amal baik dalam kehidupan sehari-hari.

C.  Uraian Materi
1. Hakekat Amal Shalih
Menurut bahasa “Amal Shaleh”, berarti perbutan yang baik, bermanfaat, selamat, atau cocok. Sedang menurut istilah terdapat beberapa definisi, antara lain:
Menurut Zamahsyari’ amal shalih diartikan sebagai semua perbuatan yang sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Amal shalih juga disefinisikan sebagi  perbuatan baik yang dilakukan seseorang karena Allah Swt. dengan tujuan untuk mendapatkan rahmat dan ridha-Nya, baik menjalankan perintah maupun menjalankan perintah maupun menjauhi larangan-Nya. sesuai dengan aturan-aturan ajaran Islam.
Dilihat dari hubungan antara manusia sebagai makhluk dan Allah Swt. sebagai Khalik, maka amal shalih dapat didefinisikan dengan semua perbuatan yang dilakukan hamba kepada Allah Swt. sebagai bentuk pengabdiannya yang didasari dengan iman. Didasari dengan iman artinya disyaratkan dengan keyakinan dan pengetahuan yang benar.
Siapapun yang amalnya ingin menjadi amal shalih, maka ia harus beriman kepada Allah Swt. terlebih dahulu, lalu memiliki ilmu yang cukup sebelum tawakkal. Ini sebagai syarat supaya pelaksanaannya dapat dikerjakan dengan benar. Kemudian ia harus ikhlas hanya karena Allah, bersabar dan atau bersyukur dalam pelaksaanya. Dan terakhir ridha terhadap semua keputusan Allah Swt. dengan hasil dari ikhtiar dan amal kita.
Untuk lebih mudah memahami hakekat dari amal shalih Saudara dapat melihat gambar di bawah ini.
 

















Keterangan:
Untuk bisa menilai amal Saudara shaleh atau tidak, Saudara harus menjawab “YA” pmelalui proses sebagai berikut:
1.  Sebelum mengamalkan sesuatu pastikan dahulu, tanyakan pada diri Saudara sendiri, apakah Saudara sudah mempunyai rencana yang matang? Rencana yang didasari iman dan pengetahuan yag cukup tentang apa yang Saudara akan kerjakan? Karena siapa yang beramal tanpa ilmu, amalnya tidak akan diterima. Jika jawaban Saudara “TIDAK” berarti salah, batal atau rusak. Artinya amal Saudara tidak dapat dikategorikan amal shalih, meskipun menurut pandangan manusia mungkin baik. Jika jawaban Saudara “YA”, maka lanjutkan.
2. Apabila jawaban Saudara “Ya” sudah, maka tanyakan lagi apakah yang Saudara amalkan niatnya hanya untuk mendapatkan ridha Allah Swt. semata. Dan menyerahkan penilaiannya juga hanya kepada-Nya? Apabila jawaban Saudara ternyata masih ada sedikit saja ingin dinilai oleh selain Allah Swt.  apalagi ingin imbalan dari yang lain misalnya ucapan terima kasih. Berarti jawaban Saudara hakekatnya “TIDAK” dan amal Saudara termasuk amal yang salah, batal atau rusak.
3. Apabila jawaban Saudara “YA”, teruskan pertanyaan berikutnya. Apakah ketika menjalankan pekerjaan tersebut bersabar apabila susah atau bersyukur jika menyenangkan? Apabila jawaban Saudara “TIDAK”, maka amal Saudara salah, batal atau rusak.
4. Apabila jawaban Saudara “YA”, maka tanyakan kembali apakah setelah selesai Saudara ridha denga hasil pekerjaan atau amal Saudara sebagai takdir terbaik yang Allah berikan kepada Saudara? Apabila jawaban Saudara “TIDAK”, maka amal Saudara salah, batal atau rusak. Dan sebaliknya jika Saudara menerima InsyaAllah akan menjadi amal shalih. Amin Ya Rabbal Alamin.


2. Amal Shalih sebagai Akhlak al-Karimah kepada Allah Swt.

Bagaimana Saudara, apakah sudah faham tentang hakekat amal shalih? Tentu sudah mulai kebuka. Selanjutnya mari kita dalami hal-hal yang terkait dengan nilai-nilai keimanan dan ubudiyyah yang harus melekat dan mendasari amal, sehingga amal kita dapat dikategorikan sebagai amal shalih.
Manusia diciptakan oleh Allah Swt. tujuannya adalah supaya beribadah hanya kepada-Nya. Sebagaimana dinyataka dalam Al-Qur’an surah adz-Dzariyat/51: 56 sebagai berikut:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (الذاريات:56)
Artinya :Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku
Oleh sebab itu semua amal perbuatan manusia yang beriman harus bernilai ibadah dan menjadi amal shalih. Amal yang hanya dipersembahkan kepada Allah Swt. dan ridah penilaiannya diserahkan sepenuhnya hanya kepada-Nya.
Adapun kisi-kisi penilaian amal shalih sebenarnya  sudah disampaiakan dalam ajaran Islam yang dibawakan oleh Nabi Muhammad Saw., yakni amal yang dibingkai dengan iman; diawali rencana yang matang dan tawakkal, niat yang ikhlas, dikerjakan dengan sabar dan atau syukur, serta akhirnya dapat menerima (ridha) hasilnya sebagai bagian dari takdir Allah Swt.  
Untuk lebih detilnya mari kita pelajari satu persatu konsep bingkai amal shalih dengan baik!

a. Tawakkal
Menurut bahasa kata tawakkal diambil dari Bahasa Arab التَوَكُّل/tawakkul dari akar kata وَكَلَ /wakala) yang berarti lemah. Adapun التَوَكُّل/tawakkul berarti menyerahkan atau mewakilkan. Seperti seseorang mewakilkan urusan kepada orang lain atau menggantikannya. Artinya, dia menyerahkan suatu perkara atau urusannya dan dia menaruh kepercayaan kepada orang itu mengenai urusan tadi.
Secara istilah tawakkal telah didefinisikan oleh ulama, antara lain Imam al-Ghazali. Beliau menyebutkan dalam kitab Ihya’ Ulumuddin pada bab at-Tauhid wa at-Tawakkal, bahwa tawakkal itu adalah hakikat tauhid yang merupakan dasar dari keimanan, dan seluruh bagian dari keimanan tidak akan terbentuk melainkan dengan ilmu, keadaan, dan perbuatan. Begitupula dengan sikap tawakkal, ia terdiri dari suatu ilmu yang merupakan dasar, dan perbuatan yang merupakan buah (hasil), serta keadaan yang merupakan maksud dari tawakkal. Tawakkal adalah menyerahkan diri kepada Allah tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar kepada-Nya dalam kesulitan di luar batas kemampuan manusia.
Berikutnya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dalam kitabnya Madarij as-Salikin menjelaskan bahwa  Tawakkal merupakan amalan dan penghambaan hati dengan menyandarkan segala sesuatunya hanya kepada Allah Swt. semata, percaya terhadap-Nya, berlindung hanya kepada-Nya dan ridha atas sesuatu yang menimpa dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan memberikan segala ‘kecukupan’ bagi dirinya, dengan tetap berikhtiar semaksimal mungkin untuk dapat memperolehnya.
Allah Swt. berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (آل عمران: 159)
Artinya:
Maka sebab rahmat dari Allah, Engkau bersikap lemah lembut kepada mereka. Seandainya Engkau bersikap kasar lagi keras hati, niscaya mereka akan pergi dari sekelilingmu. Sebab itu maafkan mereka, mintakan ampunan baginya dan ajaklah bermusyawarah mereka dalam urusan itu (menentukan strategi perang). Lalu apabila Engkau telah memiliki tekad yang bulat, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal (QS. Ali Imran/3: 159).
Ayat di atas menempatkan tawakkal pada posisi penyusunan rencana tahap rakhir setelah mempunyai keputusan dan tekad yang bulat. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum tawakkal manusia harus terlebih dahulu berikhtiyar secara zhahir, selanjutnya jangan lupa ikhtiar batin, yakni ikhtiyar dan do’a. Sebagaimana dicontohkan oleh Nabi kita Muhammad Saw., beliau melakukan rundingan dahulu dengan para sahabat dengan meminta pendapat atau buah pikiran mereka mengenai urusan peperangan dan lain-lain demi mengambil hati mereka dengan sikap lemah lembut, kemudian setelah keputusan diambil dan telah menetapkan hati, lalu bertawakkal kepada Allah dengan berserah kepada-Nya.
Jadi tawakkal bukan berarti tinggal diam, tanpa kerja dan usaha,  bukan menyerahkan semata-mata kepada keadaan dan nasib dengan tegak berpangku tangan duduk memekuk lutut, menanti apa-apa yang akan terjadi. Memohon pertolongan dan Bertawakkal tidaklah berarti meninggalkan upaya, bertawakkal mengharuskan seseorang meyakini bahwa Allah yang mewujudkan segala sesuatu, sebagaimana ia harus menjadikan kehendak dan tindakannya sejalan dengan kehendak dan ketentuan Allah Swt. Seorang muslim dituntut untuk berusaha tetapi di saat yang sama ia dituntut pula berserah diri kepada Allah Swt, ia dituntut melaksanakan kewajibannya, kemudian menanti hasilnya sebagaimana kehendak dan ketentuan Allah.
Seorang muslim berkewajiban menimbang dan memperhitungkan segala segi sebelum dia melangkahkan kaki dan mengerjakan sesuatu. Tetapi bila pertimbangannya keliru atau perhitungannya meleset, maka ketika itu akan tampil dihadapannya Allah Swt., Tuhan yang kepada-Nya yakni dengan bertawakkal dan berserah diri.
Dalam sebuah hadis Rasullah Saw. diriwayatkan sebagai berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: " إِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ مِنْ بَيْتِهِ فَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ، قَالَ: يُقَالُ حِينَئِذٍ: هُدِيتَ، وَكُفِيتَ، وَوُقِيتَ، فَتَتَنَحَّى لَهُ الشَّيَاطِينُ، فَيَقُولُ لَهُ شَيْطَانٌ آخَرُ: كَيْفَ لَكَ بِرَجُلٍ قَدْ هُدِيَ وَكُفِيَ وَوُقِيَ؟ "رواه ابو داود)
Artinya:
Dari Anas bin Malik berkata, bahwasannya Nabi Saw. bersabda, “Apabila seorang laki-laki keluar dari rumahnya,  lalau membaca بِسْمِ اللَّهِ، تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ’, maka pada saat itu dikatakan kepadanya: engkau telah diberi hidayah, engkau telah dicukupkan, engkau telah dijaga dan ditinggalkan syaitan. Dan syaitan yang lain berkata kepadanya, Bagaimana bisa menggoda dengan laki-laki ini yang sudah diberijamin hidayahnya, kecukupannya dan penjagaannya” (HR. Abu Dawud)
Hadits di atas mengisyarahkan kepada kita bahwa tawakkal itu dilakukan sebelum melakukan aktivitas. Kita harus menyadari sematang apapun rencana yang kita  buat adalah rencana yang dibuat oleh manusia yang serba lemah, dan tidak dapat mengetahui secara universal tentang hubungan sebab akibat dari semua unsur yang menentukan dan mempengarui keberhasilannya. Manusia hanya bisa berencana Allah yang menentukan segalanya. Sebab itu sebelum kita menjalankan rencana, sudah semestinya kita serahkan sepenuhnya kepada Dzat yang Maha Mengatur dan Menentukan, Allah Swt.
Sampai di sini bagaimana? Sudah nyambung? Mari kita lanjutkan belajar konsep tahapan kedua, yakni tahapan dalam membangun amal shalih.

b. Ikhlas

Menurut bahasa,  ikhlas berarti jujur, tulus dan rela. Dalam bahasa Arab, kata  إخْلاص/ikhlas merupakan bentuk mashdar dari أخْلَصَ/akhlasa  yang berasal dari akar kata خلص/khalasa. Kata ini mengandung beberapa makna sesuai dengan kontek kalimatnya. Ia biasa berarti shafaa (jernih), najaa wa salima (selamat), washala (sampai) dan I’tazala (memisahkan diri).3 Atau berarti perbaikan dan pembersihan sesuatu (Ibn Zakaria, Mu’jam Maqayis al-Lughah Jilid 2, 1986:  hlm. 208)
Menurut istilah, makna ikhlas diungkapkan oleh para ulama antara lain adalah sebagai berikut:
1). Muhammad Abduh mengatakan ikhlas adalah ikhlas beragama untuk Allah SWT. dengan selalu manghadap kepada-Nya, dan tidak mengakui kesamaan-Nya dengan makhluk apapun dan bukan dengan tujuan khusus seperti menghindarkan diri dari malapetaka atau untuk mendapatkan keuntungan serta tidak mengangkat selain dari-Nya sebagai pelindung (Muhammad Rasyid Ridha,1973, hlm. 475).
2). Muhammad al-Ghazali mengatakan ikhlas adalah melakukan amal kebajikan semata-mata karena Allah SWT (Muhammad al-Ghazali, 1993, hlm. 139)
Sekilas apabila diperhatikan makna ikhlas dari dua definisi di atas itu dapat  digambarkan seseorang yang sedang membersihkan beras dari batu-batu kecil (kerikil) yang ada di sekitar beras itu. Maka apabila beras itu dimasak akan terasa nikmat memakannya karena sudah bersih dari kerikil dan batu-batu kecil. Caoba bayangkan jika beras itu masih kotor, niscaya nasi yang kita kunyah akan ternyata kerikil juga tergigit. Sungguh tidak nikmatnya nasi tersebut karena masih ada yang mengganjal kenikmatan rasanya.
Dari ungkapan di atas dapat dipahami bahwa ikhlas itu adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan masalah niat sebab niat merupakan titik penentu dalam menentukan amal seseorang. Orang yang ikhlas tidak dinamakan orang ikhlas sampai ia mengesakan Allah SWT. dari segala sesuatu dan ia hanya menginginkan Allah SWT.
Ikhlas adalah menyengajakan suatu perbuatan karena Allah Swt. dan mengharapkan ridha-Nya serta memurnikan dari segala macam kotoran dan godaan seperti keinginan terhadap populeritas, simpati orang lain, kemewahan, kedudukan, harta, pemuasan hawa nafsu dan penyakit hati lainnya. Hal ini sesuai dengan perintah Allah-Nya yang tercantum dalam QS. al-An’am/6: 162-163. Demikian juga dalam firman-Nya yang terdapat dalam QS. al-Bayyinah/98: 5.
Apabila ikhlas digambarkan sebagai akad, maka akadnya hanya kepada Allah. Dan penilaian amal kita sepenuhnya terserah Allah Swt.  Jadi apabila penilaiannya disekutukan dengan manusia, seperti supaya dinilai baik dan dihargai dengan harga sekecil apapun misalnya ucapan terima kasih, maka akan merusak keikhlasan kita (QS. Al-Insan/76:9)
Ikhlas merupakan bentuk implementasi iman dalam beramal, karena itu nyata sama dengan keimanan yang bisa bertambah dan berkurang. Untuk itu umat Islam harus berhati-hati terhadap sifat-sifat yang dapat merusak keikhlasannya, di antaranya:
1). Ria, yakni melakukan amal perbuatan tidak untuk mencari ridha Allah SWT., akan tetapi untuk dinilai oleh manusia untuk memperoleh pujian atau kemashuran, posisi, kedudukan di tengah masyarakat, sebagaimana tergambar di dalam firman Allah SWT. Q. S. al-Ma’un/107: 4-7. Riya’ merupakan salah satu penyakit yang sifatnya abstrak, namun tanda-tandanya secara empiris dapat dirasakan, terutama bagi orang yang melakukannya. Ada pun tanda-tanda orang yang riya’, adalah: (1). Seseorang yang bertambah ketaatannya apabila dipuji atau disanjung oleh orang lain akan tetapi menjadi berkurang atau bahkan meninggalkan amalan tersebut apabila mendapat celaan dan ejekan, (b). Tekun dalam beribadah apabila di depan orang banyak akan tetapi malas apabila dikerjakan sendirian, (c). Mau memberi atau sedekah apabila dilihat orang banyak, tetapi enggan apabila tidak ada orang yang melihatnya, (d). Berkata dan berbuat kebaikan bukan semata-mata karena Allah SWT. Akan tetapi karena mengharap pamrih kepada manusia
2).  Sum’ah, yakni menceritakan amal yang telah dilakukan kepada orang lain supaya mendapat penilain dan dihargai misalnya kedudukan di hatinya. Pada dasarnya sama dengan ria, tetapi sum’ah adalah perbuatannya sudah dilaksanakan sehingga perlu diceriterakan.
3). Nifak, sifat menyembunyikan kekafiran dengan menyatakan dan mengikrarkan keimanannya kepada Allah Swt. Jadi jelas akan menghilangkan keikhlasan karena tidak didasari dengan keimanan yang benar kepada Allah Swt.
Bagaimana apa Saudara sudah faham tentang ikhlas sebagai nilai landasan amal manusia supaya bisa menjadi amal shaleh dan bernilai ibadah? Jika nilai keikhlasan seseorang semakin tinggi, berarti akhlaknya kepada Allah Swt. semakin baik pula. Dan amalnya akan dinilai oleh Allah Swt. sebaliknya apabila disertakan keinginan untuk dinilai manusia, maka Allah Swt. tidak akan mau menilai dan didiskualifikasi sebelum dihisab di hadapan-Nya kelak di hari perhidtungan amal.
Allah Swt. berfirman:
 أُولَئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا (الكهف:105)
Artinya:
Mereka itu adalah orang-orang yang mengingkari (tidak percaya) dengan ayat-ayat Tuhannya dan pertemuan dengan-Nya (di akhirat), maka rusaklah amal-amal mereka. Kami tidak akan melakukan penimbangan amal di hari kiamat kelak (QS. Al-Kahfi/18: 105)

c. Sabar

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sabar berarti tahan menghadapi cobaan, tidak lekas marah, putus asa atau patah hati. Sebenarnya kata sabar berasal dari bahasa arab, yaitu shabara- yashbiru-shabran yang artinya menahan. Kata lainnya adalah alhabs yang artinya menahan atau memenjarakan. Artinya adalah menahan hatinya dari keinginan atau nafsunya. Kata sabar dengan aneka ragam derivasinya memiliki makna yang beragam antara lain: shabara bih yang berarti “menjamin”. Shabîr yang berarti “pemuka masyarakat yang melindungi kaumnya”. Dari akar kata tersebut terbentuk pula kata yang berarti “gunung yang tegar dan kokoh”, “awan yang berada di atas awan lainnya sehingga melindungi apa yang terdapat di bawahnya”, “batu-batu yang kokoh”, “tanah yang gersang”, “sesuatu yang pahit atau menjadi pahit”.
Sedangkan menurut istilah sabar didefinisikan oleh para ulama, antara lain: (1).  Shabar adalah sikap tegar dalam menghadapai ketentuan dari Allah. Orang yang sabar menerima segala musibah dari Allah dengan lapang dada, (2). Sabar adalah keteguhan hati yang mendorong akal pikiran dan agama dalam menghadapi dorongan-dorongan nafsu syahwat. (3). Shabar adalah tabah hati tanpa mengeluh dalam menghadapi godaan dan rintangan dalam jangka waktu tertentu dalam rangka mencapai tujuan.
 Ada juga yang memahami bahwa shabar bermakna kemampuan mengendalikan emosi, sehingga sabar memiliki padananan nama yang berbeda-beda sesuai dengan objeknya: (1). Shabar adalah ketabahan menghadapi musibah, sehingga kebalikannya gelisah dan keluh kesah berarti tidak shabar, (2).  Shabar itu  dhobith an nafs disebabkan mampu menghadapi dan menahan diri dari godaan hidup yang menyenangkan, (3). Shabar dalam peperangan disebut pemberani, kebalikannya disebut pengecut, (4). Shabar dalam menahan marah disebut santun (hilm), kebalikannya disebut pemarah (tazammur), (5). Shabar dalam menghadapi bencana yang mencekam disebut lapang dada (ridha), (6). Shabar  dalam mendengar gosip disebut mampu menyembunyikan rahasia, (7).  Shabar  terhadap kemewahan disebut zuhud, dan (8). Shabar  dalam menerima yang sedikit disebut kaya hati (qana‟ah) kebalikannya disebut tamak atau rakus.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat difahami bahwa shabar itu merupakan kemampuan menahan atau mengatur diri untuk dapat tetap taat terhadap aturan-aturan yang benar berdasarkan syariat dalam menjalankan perintah Allah Swt., menjauhi larangan-Nya dan menerima cobaan, pada waktu tertentu mulai dari awal sampai selesai. Seperti  shabar mengerjakan shalat berarti mulai takbiratul ihram sampai salam. Seseorang dikatakan shabar dalam shalat jika ia tidak melanggar aturan-aturan shalat dari mulai takbiratul ihram sampai salam. Dan shalatnya akan salah, batal atau rusak. Harus mengulang kembali dari awal sampai akhir tanpa ada pelanggaran, jika mau shalatnya menjadi bagian amal shalih.
Bagaimana kalau ada yang bertanya apa shabar ada batasnya? Jawabnya “Ada”. Kenapa? Karena sesuatu yang tidak ada batasnya berarti sesuatu itu belum jelas dan sesuatu yang belum jelas itu masih bersifat umum atau mutlak. Dan sesuatu yang masih bersifat umum atau masih mutlak atau syubhat itu harus ditinggalkan, tidak boleh diamalkan sampai ada dalil yang mentakhshish dan mentaqyidnya sehingga jelas batasnya.
Ayat yang sering difahami oleh sebagian orang sebagai dalil bahwa shabar tidak ada batasnya adalah QS. Ali Imran/3: 200 sebagi berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (ال  عمران:200)
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah terus bersabar dan tetaplah dalam kesabaran. Bertaqwalah kalian kepada Allah supaya kalian beruntung”.
Kalimat tetaplah kalian dalam kesabaran, karena ayat ini konteknya adalah dalam kondisi perang yang maksudnya yaitu tetap shabar sampai perang berakhir. Tidak boleh melanggar strategi dan aturan-aturan perang sesuai dengan hukum yang ditetapkan Allah. Sama dengan tidak boleh melanggar aturan-aturan shalat sampai shalat berakhir. Apabila melanggar aturan, maka amalnya menjadi amal yang salah, batal dan rusak. Dan berarti tidak shabar, berarti pula buruk akhlaknya kepada Allah.
Sebab itu shabar memerlukan pengetahuan yang cukup tentang apa yang sedang diamalkan. Mustahil orang yang bodoh akan dapat shabar, karena kemungkinan besar ia akan melanggar aturan-aturan yang sudah ditetapkan sebab tidak mengetahuinya. Nabi Musa AS. tidak bisa shabar mengikuti Nabi Khidir AS., dikarenakan Nabi Musa tidak mengetahui apa maksud dan apa yang akan terjadi. Allah Swt. berfirman:
وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا (كهف:68)
Artinya:
“Bagaimana mungkin engkau dapat bersabar terhadap apa yang engkau belum tahu persis masalahnya”

d. Syukur

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), syukur diartikan sebagai: (1) rasa terima kasih kepada Allah, dan (2) untunglah (menyatakan lega, senang dan sebagainya). Sebenarnya kata syukur berasal dari bahasa Arab yakni dalam bentuk mashdar dari kata kerja syakarayasykurusyukranwa syukuranwa syukranan.. Secara bahasa berarti pujian atas kebaikan dan penuhnya sesuatu. Syukur juga berarti menampakkan sesuatu kepermukaan. Dalam hal ini menampakkan sesuatu kepermukaan, yakni menampakkan nikmat Allah.
Sedangkan menurut istilah syukur adalah pengakuan terhadap nikmat yang dikaruniakan Allah yang disertai dengan kedudukan kepada-Nya dan mempergunakan nikmat tersebut sesuai dengan tuntunan dan kehendak-Nya.  Dalam hal ini, hakikat syukur adalah “menampakkan nikmat,” dan sebaliknya hakikat kekufuran adalah menyembunyikannya. Menampakkan nikmat antara lain berarti menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberi-Nya, juga menyebut-nyebut nikmat dan pemberi-Nya dengan lidah. M. Quraish Shihab menegaskan bahwa syukur mencakup tiga sisi. Pertama, syukur dengan hati, yakni kepuasaan batin atas anugerah. Kedua, syukur dengan lidah, yakni dengan mengakui anugerah dan memuji pemberinya. Ketiga, syukur dengan perbuatan, yakni dengan memanfaatkan anugerah yang diperoleh sesuai dengan tujuan penganugerahannya.
Kaitannya dengan amal shalih syukur itu menjadi landasan tauhid seseorang ketika diberikan fasilitas yang enak dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang hamba di dunia ini. Dengan kata lain dalam beramal ketika fasilitasnya terbatas maka harus shabar sementara kalau fasilitasnya cukup apalagi berlimpah maka harus bersyukur.  Dalam perspektif amal shalih keduanya (shabar dan syukur) kedudukannya sama menjadi cara atau ukuran bagi orang yang beriman apakah tindakannya akan menjadi amal ibadah atau bukan. Rasulullah Saw. bersabda:
عَنْ صُهَيْبٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " عَجِبْتُ مِنْ أَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَ الْمُؤْمِنِ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَلِكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، كَانَ ذَلِكَ لَهُ خَيْرًا، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ فَصَبَرَ، كَانَ ذَلِكَ لَهُ خَيْرًا "(رواه احمد)
Artinya:
Dari Shuhaib berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Saya heran terhadap urusan orang yang beriman, sesungguhnya semua urusannya akan menjadi kebaikan, dan itu tidak dapat terjadi keculi bagi orang yang beriman. Jika ia memperoleh kesenangan lalu ia bersyukur, maka yang demikian itu akan menjadikan kebaikan baginya. Dan jika ia ditimpa keburukan lalu ia bersabar, maka yang demikian itu juga menjadi kebaikan (HR. Ahmad)
Pernyataan Rasulullah Saw. tersebut di atas, yang dimaksud menjadi kebaikan bagi orang yang beriman adalah menjadi amal yang bernilai ibadah. Karena memang tugas manusia di dunia ini adalah untuk beribadah kepada-Nya. Dan nilai ibadah itu bentuknya adalah amal shalih, ketakwaan kepada-Nya. Selalu menjadi hamba yang shalih dalam kondisi apapun, baik sedang dalam kesusahan maupun sedang dalam kelapangan. Kesusahan dan kesenangan di dunia, bagi seorang yang beriman itu sama kedudukannya sebagai alat ujian untuk mendapatkan amal shalih sebanyak-banyaknya.
Maaf, Saudara baiknya Jedda dulu, bagaimana setelah baca teks di atas? Sudah nyambung? Kalau sudah nyambung mari kita lanjutkan.

e. Ridha
Menurut bahasa kata الرضا/ridha  berasal dari bahasa Arab  yang berarti senang, suka, rela. Ia merupakan lawan dari kata  السخط/al-sukht yang berarti kemarahan, kemurkaan, rasa tidak suka. Orang yang الرضا/ridha  berarti orang yang sanggup melepaskan ketidak senangan dari dalam hati, sehingga yang tinggal di dalam hatinya hanyalah kesenangan.
Menurut istilah para ulama ridha  didefinisikan antara lain oleh; (1). Dzunnun Al-Miṣri, beliau mengatakan bawa ridha  ialah kegembiraan hati dalam menghadapi qadha tuhan, (2). Ibnu Ujaibah mengatakan bahwa ridha  adalah menerima kehancuran dengan wajah tersenyum, atau bahagianya hati ketika ketetapan terjadi, atau tidak memilih-milih apa yang telah diatur dan ditetapkan oleh Allah, atau lapang dada dan tidak mengingkari apa-apa yang datang dari Allah, (3). Al-Barkawi berpendapat bawa ridha  adalah jiwa yang bersih terhadap apa-apa yang menimpanya dan apa-apa yang hilang, tanpa perubahan. Ibnu Aṭaillah as-Sakandari berkata, “ridha  adalah pandangan hati terhadap pilihan Allah yang kekal untuk hamba-Nya, yaitu, menjauhkan diri dari kemarahan.
Dari definisi-definisi di atas dapat difahami bahwa ridha  itu merupakan kondisi kejiwaan atau sikap mental yang senantiasa menerima dengan lapang dada atas segala keputusan Allah Swt. yang terkait dengan diri seorang hamba, baik berupa karunia yang baik berupa nikmat maupun yang buruk berupa bala’. Ia akan senantiasa merasa senang dalam setiap situasi yang meliputinya. Sikap seperti inilah yang dapat menjadikan amal seorang hamba dapat diterima di sisi Allah Swt. dan merupakan akhlak yang mulia kepada Penciptanya.
Orang yang ridha  terhadap cobaan dan musibah yang menimpanya sebenarnya merasakan apa yang dirasakan manusia pada umumnya. Akan tetapi dia ridha  dengan akal dan imannya, karena dia meyakini besarnya pahala dan balasan atas musibah dan cobaan tersebut. Oleh karena itu dia tidak menolaknya dan tidak gelisah. Abu Ali Ad-Daqqaq berkata, “ridha  bukan berarti tidak merasakan bencana. Akan tetapi, ridha  itu berarti tidak menolak qadha dan takdir.
Orang yang jiwanya rela (puas) menerima apapun yang terjadi pada diri mereka, tidak ada sedikitpun kekecewaan yang melanda dirinya. Orang-orang seperti inilah yang disebut dengan orang yang ridha . Orang yang ridha  sadar bahwa penderitaan yang menimpanya juga menimpa orang lain, namun dalam bentuk yang berbeda-beda. Sikap seperti itu muncul karena ia mengimani sepenuhnya rencana dan kebijaksanaan Allah. Apa yang menimpanya diyakini sebagai ketentuan yang telah ditentukan oleh Allah kepadanya. Ia menerima dan mensikapi dengan senang hati sehingga ia dapat terhindar dari kebencian terhadap manusia, karena seseorang yang berusaha mencari ridha  Allah tidak peduli terhadap komentar apapun dari orang lain mengenai dirinya, dan hal itu tidak membuatnya sakit hati, sehingga hatinya menjadi tenang dan jauh dari gejolak dan gelisah.
Bagaimana hubungannya dengan amal shalih? Ridha terhadap keputusan Allah Swt. merupakan syarat diterimanya penghambaan seseorang. Siapa yang tidak ridha dengan keputusan dan takdir-Nya dia tidak berhak mengakui Allah sebagai Tuhannya. Dan berarti amalnya akan didiskualifikasi, tidak akan dihitung dalam perhitungan di yaum al-hisab kelak. Karena Allah Swt. tidak ridha dengan akhlaknya. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadis Qudsi dari Anas bin Malik sebagai berikut:

عن أَنَس بِنْ مَالِكٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: قَالَ اللهُ تَعَالَى: " مَنْ لَمْ يَرْضَ بِقَضَائِي وَقَدَرِي فَلْيَلْتَمِسْ رَبًّا غَيْرِي "(رواه البيهقي)
Atinya:
Dari Anas bin Malik berkata, saya mendengan Rasulullah Saw. bersabda, Allah Swt. berfirman, “Siapa yang tidak ridha dengan keputusan dan takdirku, maka hendaknya mencari dan memohon doa kepada Tuhan selain Aku” (HR. Baihaki)



TEORI PENDIDIKAN