KEGIATAN
BELAJAR 2
AMAL SHALIH
A.
Capaian Pembelajaran
Mampu
menganalisis hakekat amal shaleh dan unsur-unsur iman yang mendasari dalam
implementasinya.
B.
Sub CP/Indikator Kompetensi
1. Mendefinisikan
hakekat amal Shalih.
2. Menganalisis
terbentuknya amal Shalih, berdasarkan konsep iman; tawakkal, ikhlas, shabar,
dan syukur.
3. Membedakan
antara amal Shalih dan amal baik dalam kehidupan sehari-hari.
C. Uraian
Materi
1.
Hakekat Amal Shalih
Menurut bahasa “Amal Shaleh”, berarti perbutan yang baik, bermanfaat,
selamat, atau cocok. Sedang menurut istilah terdapat beberapa definisi, antara
lain:
Menurut Zamahsyari’ amal shalih diartikan sebagai semua perbuatan yang
sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Amal shalih juga
disefinisikan sebagi perbuatan baik yang
dilakukan seseorang karena Allah Swt. dengan tujuan untuk mendapatkan rahmat
dan ridha-Nya, baik menjalankan perintah maupun menjalankan perintah maupun
menjauhi larangan-Nya. sesuai dengan aturan-aturan ajaran Islam.
Dilihat dari hubungan antara manusia sebagai makhluk dan Allah Swt.
sebagai Khalik, maka amal shalih dapat didefinisikan dengan semua perbuatan
yang dilakukan hamba kepada Allah Swt. sebagai bentuk pengabdiannya yang
didasari dengan iman. Didasari dengan iman artinya disyaratkan dengan keyakinan
dan pengetahuan yang benar.
Siapapun yang amalnya ingin menjadi amal shalih, maka ia harus beriman
kepada Allah Swt. terlebih dahulu, lalu memiliki ilmu yang cukup sebelum tawakkal.
Ini sebagai syarat supaya pelaksanaannya dapat dikerjakan dengan benar.
Kemudian ia harus ikhlas hanya karena Allah, bersabar dan atau bersyukur dalam
pelaksaanya. Dan terakhir ridha terhadap semua keputusan Allah Swt. dengan
hasil dari ikhtiar dan amal kita.
Untuk lebih mudah memahami hakekat dari amal shalih Saudara dapat melihat
gambar di bawah ini.
Keterangan:
Untuk bisa menilai amal Saudara shaleh atau tidak, Saudara harus menjawab
“YA” pmelalui proses sebagai berikut:
1. Sebelum
mengamalkan sesuatu pastikan dahulu, tanyakan pada diri Saudara sendiri, apakah
Saudara sudah mempunyai rencana yang matang? Rencana yang didasari iman dan
pengetahuan yag cukup tentang apa yang Saudara akan kerjakan? Karena siapa yang
beramal tanpa ilmu, amalnya tidak akan diterima. Jika jawaban Saudara “TIDAK”
berarti salah, batal atau rusak. Artinya amal Saudara tidak dapat dikategorikan
amal shalih, meskipun menurut pandangan manusia mungkin baik. Jika jawaban
Saudara “YA”, maka lanjutkan.
2. Apabila jawaban Saudara “Ya” sudah, maka
tanyakan lagi apakah yang Saudara amalkan niatnya hanya untuk mendapatkan ridha
Allah Swt. semata. Dan menyerahkan penilaiannya juga hanya kepada-Nya? Apabila
jawaban Saudara ternyata masih ada sedikit saja ingin dinilai oleh selain Allah
Swt. apalagi ingin imbalan dari yang
lain misalnya ucapan terima kasih. Berarti jawaban Saudara hakekatnya “TIDAK”
dan amal Saudara termasuk amal yang salah, batal atau rusak.
3. Apabila jawaban Saudara “YA”, teruskan
pertanyaan berikutnya. Apakah ketika menjalankan pekerjaan tersebut bersabar
apabila susah atau bersyukur jika menyenangkan? Apabila jawaban Saudara
“TIDAK”, maka amal Saudara salah, batal atau rusak.
4. Apabila jawaban Saudara “YA”, maka tanyakan
kembali apakah setelah selesai Saudara ridha denga hasil pekerjaan atau amal
Saudara sebagai takdir terbaik yang Allah berikan kepada Saudara? Apabila
jawaban Saudara “TIDAK”, maka amal Saudara salah, batal atau rusak. Dan sebaliknya
jika Saudara menerima InsyaAllah akan menjadi amal shalih. Amin Ya Rabbal
Alamin.
2. Amal Shalih sebagai Akhlak al-Karimah kepada Allah Swt.
Bagaimana Saudara, apakah sudah faham tentang hakekat amal shalih? Tentu
sudah mulai kebuka. Selanjutnya mari kita dalami hal-hal yang terkait dengan
nilai-nilai keimanan dan ubudiyyah yang harus melekat dan mendasari
amal, sehingga amal kita dapat dikategorikan sebagai amal shalih.
Manusia diciptakan oleh Allah Swt. tujuannya adalah supaya beribadah hanya
kepada-Nya. Sebagaimana dinyataka dalam Al-Qur’an surah adz-Dzariyat/51: 56
sebagai berikut:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
(الذاريات:56)
Artinya :Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah
kepada-Ku
Oleh sebab itu semua amal perbuatan manusia yang beriman harus bernilai
ibadah dan menjadi amal shalih. Amal yang hanya dipersembahkan kepada Allah
Swt. dan ridah penilaiannya diserahkan sepenuhnya hanya kepada-Nya.
Adapun kisi-kisi penilaian amal shalih sebenarnya sudah disampaiakan dalam ajaran Islam yang
dibawakan oleh Nabi Muhammad Saw., yakni amal yang dibingkai dengan iman;
diawali rencana yang matang dan tawakkal, niat yang ikhlas, dikerjakan dengan
sabar dan atau syukur, serta akhirnya dapat menerima (ridha) hasilnya sebagai
bagian dari takdir Allah Swt.
Untuk lebih detilnya mari kita pelajari satu persatu konsep bingkai amal
shalih dengan baik!
a. Tawakkal
Menurut bahasa
kata tawakkal diambil dari Bahasa Arab التَوَكُّل/tawakkul
dari akar kata وَكَلَ /wakala) yang
berarti lemah. Adapun التَوَكُّل/tawakkul
berarti menyerahkan atau mewakilkan. Seperti seseorang mewakilkan urusan kepada
orang lain atau menggantikannya. Artinya, dia menyerahkan suatu perkara atau
urusannya dan dia menaruh kepercayaan kepada orang itu mengenai urusan tadi.
Secara istilah
tawakkal telah didefinisikan oleh ulama, antara lain Imam al-Ghazali. Beliau
menyebutkan dalam kitab Ihya’ Ulumuddin pada bab at-Tauhid wa
at-Tawakkal, bahwa tawakkal itu adalah hakikat tauhid yang merupakan dasar
dari keimanan, dan seluruh bagian dari keimanan tidak akan terbentuk melainkan
dengan ilmu, keadaan, dan perbuatan. Begitupula dengan sikap tawakkal, ia
terdiri dari suatu ilmu yang merupakan dasar, dan perbuatan yang merupakan buah
(hasil), serta keadaan yang merupakan maksud dari tawakkal. Tawakkal adalah
menyerahkan diri kepada Allah tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar
kepada-Nya dalam kesulitan di luar batas kemampuan manusia.
Berikutnya Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah, dalam kitabnya Madarij as-Salikin menjelaskan
bahwa Tawakkal merupakan amalan dan
penghambaan hati dengan menyandarkan segala sesuatunya hanya kepada Allah Swt.
semata, percaya terhadap-Nya, berlindung hanya kepada-Nya dan ridha atas
sesuatu yang menimpa dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan memberikan
segala ‘kecukupan’ bagi dirinya, dengan tetap berikhtiar semaksimal mungkin
untuk dapat memperolehnya.
Allah Swt.
berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ
الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ
فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
(آل عمران: 159)
Artinya:
Maka sebab rahmat
dari Allah, Engkau bersikap lemah lembut kepada mereka. Seandainya Engkau
bersikap kasar lagi keras hati, niscaya mereka akan pergi dari sekelilingmu.
Sebab itu maafkan mereka, mintakan ampunan baginya dan ajaklah bermusyawarah
mereka dalam urusan itu (menentukan strategi perang). Lalu apabila Engkau telah
memiliki tekad yang bulat, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang bertawakkal (QS. Ali Imran/3: 159).
Ayat di atas
menempatkan tawakkal pada posisi penyusunan rencana tahap rakhir setelah
mempunyai keputusan dan tekad yang bulat. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum
tawakkal manusia harus terlebih dahulu berikhtiyar secara zhahir, selanjutnya
jangan lupa ikhtiar batin, yakni ikhtiyar dan do’a. Sebagaimana dicontohkan
oleh Nabi kita Muhammad Saw., beliau melakukan rundingan dahulu dengan para
sahabat dengan meminta pendapat atau buah pikiran mereka mengenai urusan
peperangan dan lain-lain demi mengambil hati mereka dengan sikap lemah lembut,
kemudian setelah keputusan diambil dan telah menetapkan hati, lalu bertawakkal
kepada Allah dengan berserah kepada-Nya.
Jadi tawakkal
bukan berarti tinggal diam, tanpa kerja dan usaha, bukan menyerahkan semata-mata kepada keadaan
dan nasib dengan tegak berpangku tangan duduk memekuk lutut, menanti apa-apa
yang akan terjadi. Memohon pertolongan dan Bertawakkal tidaklah berarti
meninggalkan upaya, bertawakkal mengharuskan seseorang meyakini bahwa Allah
yang mewujudkan segala sesuatu, sebagaimana ia harus menjadikan kehendak dan
tindakannya sejalan dengan kehendak dan ketentuan Allah Swt. Seorang muslim
dituntut untuk berusaha tetapi di saat yang sama ia dituntut pula berserah diri
kepada Allah Swt, ia dituntut melaksanakan kewajibannya, kemudian menanti
hasilnya sebagaimana kehendak dan ketentuan Allah.
Seorang muslim
berkewajiban menimbang dan memperhitungkan segala segi sebelum dia melangkahkan
kaki dan mengerjakan sesuatu. Tetapi bila pertimbangannya keliru atau
perhitungannya meleset, maka ketika itu akan tampil dihadapannya Allah Swt.,
Tuhan yang kepada-Nya yakni dengan bertawakkal dan berserah diri.
Dalam sebuah hadis
Rasullah Saw. diriwayatkan sebagai berikut:
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:
" إِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ مِنْ بَيْتِهِ فَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى
اللَّهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ، قَالَ: يُقَالُ حِينَئِذٍ: هُدِيتَ،
وَكُفِيتَ، وَوُقِيتَ، فَتَتَنَحَّى لَهُ الشَّيَاطِينُ، فَيَقُولُ لَهُ شَيْطَانٌ
آخَرُ: كَيْفَ لَكَ بِرَجُلٍ قَدْ هُدِيَ وَكُفِيَ وَوُقِيَ؟ "رواه ابو داود)
Artinya:
Dari Anas bin Malik berkata,
bahwasannya Nabi Saw. bersabda, “Apabila seorang laki-laki keluar dari
rumahnya, lalau membaca ‘بِسْمِ اللَّهِ، تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لَا حَوْلَ وَلَا
قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ’, maka pada saat itu dikatakan kepadanya:
engkau telah diberi hidayah, engkau telah dicukupkan, engkau telah dijaga dan
ditinggalkan syaitan. Dan syaitan yang lain berkata kepadanya, Bagaimana bisa
menggoda dengan laki-laki ini yang sudah diberijamin hidayahnya, kecukupannya
dan penjagaannya” (HR. Abu Dawud)
Hadits di atas mengisyarahkan kepada kita bahwa tawakkal itu
dilakukan sebelum melakukan aktivitas. Kita harus menyadari sematang apapun
rencana yang kita buat adalah rencana
yang dibuat oleh manusia yang serba lemah, dan tidak dapat mengetahui secara
universal tentang hubungan sebab akibat dari semua unsur yang menentukan dan
mempengarui keberhasilannya. Manusia hanya bisa berencana Allah yang menentukan
segalanya. Sebab itu sebelum kita menjalankan rencana, sudah semestinya kita
serahkan sepenuhnya kepada Dzat yang Maha Mengatur dan Menentukan, Allah Swt.
Sampai di sini bagaimana? Sudah nyambung? Mari kita lanjutkan
belajar konsep tahapan kedua, yakni tahapan dalam membangun amal shalih.
b. Ikhlas
Menurut bahasa, ikhlas berarti jujur, tulus dan rela. Dalam
bahasa Arab, kata إخْلاص/ikhlas merupakan bentuk mashdar dari أخْلَصَ/akhlasa yang berasal dari akar kata خلص/khalasa. Kata ini mengandung beberapa makna
sesuai dengan kontek kalimatnya. Ia biasa berarti shafaa (jernih), najaa
wa salima (selamat), washala (sampai) dan I’tazala (memisahkan
diri).3 Atau berarti perbaikan dan pembersihan sesuatu (Ibn Zakaria, Mu’jam
Maqayis al-Lughah Jilid 2, 1986:
hlm. 208)
Menurut istilah, makna ikhlas diungkapkan oleh para ulama antara
lain adalah sebagai berikut:
1). Muhammad
Abduh mengatakan ikhlas adalah ikhlas beragama untuk Allah SWT. dengan selalu
manghadap kepada-Nya, dan tidak mengakui kesamaan-Nya dengan makhluk apapun dan
bukan dengan tujuan khusus seperti menghindarkan diri dari malapetaka atau
untuk mendapatkan keuntungan serta tidak mengangkat selain dari-Nya sebagai
pelindung (Muhammad Rasyid Ridha,1973, hlm. 475).
2). Muhammad
al-Ghazali mengatakan ikhlas adalah melakukan amal kebajikan semata-mata karena
Allah SWT (Muhammad al-Ghazali, 1993, hlm. 139)
Sekilas apabila diperhatikan makna
ikhlas dari dua definisi di atas itu dapat digambarkan seseorang yang sedang membersihkan
beras dari batu-batu kecil (kerikil) yang ada di sekitar beras itu. Maka
apabila beras itu dimasak akan terasa nikmat memakannya karena sudah bersih
dari kerikil dan batu-batu kecil. Caoba bayangkan jika beras itu masih kotor,
niscaya nasi yang kita kunyah akan ternyata kerikil juga tergigit. Sungguh
tidak nikmatnya nasi tersebut karena masih ada yang mengganjal kenikmatan
rasanya.
Dari ungkapan di atas dapat
dipahami bahwa ikhlas itu adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan masalah
niat sebab niat merupakan titik penentu dalam menentukan amal seseorang. Orang
yang ikhlas tidak dinamakan orang ikhlas sampai ia mengesakan Allah SWT. dari
segala sesuatu dan ia hanya menginginkan Allah SWT.
Ikhlas adalah menyengajakan suatu
perbuatan karena Allah Swt. dan mengharapkan ridha-Nya serta memurnikan dari
segala macam kotoran dan godaan seperti keinginan terhadap populeritas, simpati
orang lain, kemewahan, kedudukan, harta, pemuasan hawa nafsu dan penyakit hati
lainnya. Hal ini sesuai dengan perintah Allah-Nya yang tercantum dalam QS.
al-An’am/6: 162-163. Demikian juga dalam firman-Nya yang terdapat dalam QS.
al-Bayyinah/98: 5.
Apabila ikhlas digambarkan sebagai
akad, maka akadnya hanya kepada Allah. Dan penilaian amal kita sepenuhnya
terserah Allah Swt. Jadi apabila penilaiannya
disekutukan dengan manusia, seperti supaya dinilai baik dan dihargai dengan
harga sekecil apapun misalnya ucapan terima kasih, maka akan merusak keikhlasan
kita (QS. Al-Insan/76:9)
Ikhlas merupakan bentuk
implementasi iman dalam beramal, karena itu nyata sama dengan keimanan yang
bisa bertambah dan berkurang. Untuk itu umat Islam harus berhati-hati terhadap
sifat-sifat yang dapat merusak keikhlasannya, di antaranya:
1). Ria, yakni
melakukan amal perbuatan tidak untuk mencari ridha Allah SWT., akan tetapi
untuk dinilai oleh manusia untuk memperoleh pujian atau kemashuran, posisi,
kedudukan di tengah masyarakat, sebagaimana tergambar di dalam firman Allah
SWT. Q. S. al-Ma’un/107: 4-7. Riya’ merupakan salah satu penyakit yang sifatnya
abstrak, namun tanda-tandanya secara empiris dapat dirasakan, terutama bagi
orang yang melakukannya. Ada pun tanda-tanda orang yang riya’, adalah: (1).
Seseorang yang bertambah ketaatannya apabila dipuji atau disanjung oleh orang
lain akan tetapi menjadi berkurang atau bahkan meninggalkan amalan tersebut
apabila mendapat celaan dan ejekan, (b). Tekun dalam beribadah apabila di depan
orang banyak akan tetapi malas apabila dikerjakan sendirian, (c). Mau memberi
atau sedekah apabila dilihat orang banyak, tetapi enggan apabila tidak ada
orang yang melihatnya, (d). Berkata dan berbuat kebaikan bukan semata-mata
karena Allah SWT. Akan tetapi karena mengharap pamrih kepada manusia
2). Sum’ah, yakni menceritakan amal yang telah
dilakukan kepada orang lain supaya mendapat penilain dan dihargai misalnya
kedudukan di hatinya. Pada dasarnya sama dengan ria, tetapi sum’ah adalah
perbuatannya sudah dilaksanakan sehingga perlu diceriterakan.
3). Nifak,
sifat menyembunyikan kekafiran dengan menyatakan dan mengikrarkan keimanannya
kepada Allah Swt. Jadi jelas akan menghilangkan keikhlasan karena tidak
didasari dengan keimanan yang benar kepada Allah Swt.
Bagaimana apa Saudara sudah faham
tentang ikhlas sebagai nilai landasan amal manusia supaya bisa menjadi amal
shaleh dan bernilai ibadah? Jika nilai keikhlasan seseorang semakin tinggi,
berarti akhlaknya kepada Allah Swt. semakin baik pula. Dan amalnya akan dinilai
oleh Allah Swt. sebaliknya apabila disertakan keinginan untuk dinilai manusia,
maka Allah Swt. tidak akan mau menilai dan didiskualifikasi sebelum dihisab di
hadapan-Nya kelak di hari perhidtungan amal.
Allah Swt. berfirman:
أُولَئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ
وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا
(الكهف:105)
Artinya:
Mereka itu adalah orang-orang yang mengingkari
(tidak percaya) dengan ayat-ayat Tuhannya dan pertemuan dengan-Nya (di
akhirat), maka rusaklah amal-amal mereka. Kami tidak akan melakukan penimbangan
amal di hari kiamat kelak (QS. Al-Kahfi/18: 105)
c. Sabar
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sabar
berarti tahan menghadapi cobaan, tidak lekas marah, putus asa atau patah hati.
Sebenarnya kata sabar berasal dari bahasa arab, yaitu shabara-
yashbiru-shabran yang artinya
menahan. Kata lainnya adalah alhabs yang
artinya menahan atau memenjarakan. Artinya adalah menahan hatinya dari
keinginan atau nafsunya. Kata sabar dengan aneka ragam derivasinya memiliki makna
yang beragam antara lain: shabara bih yang berarti “menjamin”. Shabîr
yang berarti “pemuka masyarakat yang melindungi kaumnya”. Dari akar kata
tersebut terbentuk pula kata yang berarti “gunung yang tegar dan kokoh”, “awan
yang berada di atas awan lainnya sehingga melindungi apa yang terdapat di
bawahnya”, “batu-batu yang kokoh”, “tanah yang gersang”, “sesuatu yang pahit
atau menjadi pahit”.
Sedangkan menurut istilah sabar
didefinisikan oleh para ulama, antara lain: (1). Shabar adalah sikap tegar dalam menghadapai
ketentuan dari Allah. Orang yang sabar menerima segala musibah dari Allah
dengan lapang dada, (2). Sabar adalah keteguhan hati yang mendorong akal
pikiran dan agama dalam menghadapi dorongan-dorongan nafsu syahwat. (3). Shabar
adalah tabah hati tanpa mengeluh dalam menghadapi godaan dan rintangan dalam
jangka waktu tertentu dalam rangka mencapai tujuan.
Ada juga yang memahami bahwa shabar bermakna
kemampuan mengendalikan emosi, sehingga sabar memiliki padananan nama yang
berbeda-beda sesuai dengan objeknya: (1). Shabar adalah ketabahan menghadapi
musibah, sehingga kebalikannya gelisah dan keluh kesah berarti tidak shabar,
(2). Shabar itu dhobith an nafs disebabkan mampu
menghadapi dan menahan diri dari godaan hidup yang menyenangkan, (3). Shabar
dalam peperangan disebut pemberani, kebalikannya disebut pengecut, (4). Shabar
dalam menahan marah disebut santun (hilm), kebalikannya disebut pemarah
(tazammur), (5). Shabar dalam menghadapi bencana yang mencekam disebut
lapang dada (ridha), (6). Shabar
dalam mendengar gosip disebut mampu menyembunyikan rahasia, (7). Shabar
terhadap kemewahan disebut zuhud, dan (8). Shabar dalam menerima yang sedikit disebut kaya hati
(qana‟ah) kebalikannya disebut tamak atau rakus.
Dari pengertian-pengertian di atas
dapat difahami bahwa shabar itu merupakan kemampuan menahan atau mengatur diri
untuk dapat tetap taat terhadap aturan-aturan yang benar berdasarkan syariat
dalam menjalankan perintah Allah Swt., menjauhi larangan-Nya dan menerima
cobaan, pada waktu tertentu mulai dari awal sampai selesai. Seperti shabar mengerjakan shalat berarti mulai takbiratul
ihram sampai salam. Seseorang dikatakan shabar dalam shalat jika ia tidak
melanggar aturan-aturan shalat dari mulai takbiratul ihram sampai salam.
Dan shalatnya akan salah, batal atau rusak. Harus mengulang kembali dari awal
sampai akhir tanpa ada pelanggaran, jika mau shalatnya menjadi bagian amal
shalih.
Bagaimana kalau ada yang bertanya
apa shabar ada batasnya? Jawabnya “Ada”. Kenapa? Karena sesuatu yang tidak ada
batasnya berarti sesuatu itu belum jelas dan sesuatu yang belum jelas itu masih
bersifat umum atau mutlak. Dan sesuatu yang masih bersifat umum atau masih
mutlak atau syubhat itu harus ditinggalkan, tidak boleh diamalkan sampai ada
dalil yang mentakhshish dan mentaqyidnya sehingga jelas batasnya.
Ayat yang sering difahami oleh
sebagian orang sebagai dalil bahwa shabar tidak ada batasnya adalah QS. Ali
Imran/3: 200 sebagi berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا
اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (ال عمران:200)
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah
terus bersabar dan tetaplah dalam kesabaran. Bertaqwalah kalian kepada Allah
supaya kalian beruntung”.
Kalimat tetaplah kalian dalam
kesabaran, karena ayat ini konteknya adalah dalam kondisi perang yang maksudnya
yaitu tetap shabar sampai perang berakhir. Tidak boleh melanggar strategi dan
aturan-aturan perang sesuai dengan hukum yang ditetapkan Allah. Sama dengan
tidak boleh melanggar aturan-aturan shalat sampai shalat berakhir. Apabila
melanggar aturan, maka amalnya menjadi amal yang salah, batal dan rusak. Dan
berarti tidak shabar, berarti pula buruk akhlaknya kepada Allah.
Sebab itu shabar memerlukan
pengetahuan yang cukup tentang apa yang sedang diamalkan. Mustahil orang yang
bodoh akan dapat shabar, karena kemungkinan besar ia akan melanggar
aturan-aturan yang sudah ditetapkan sebab tidak mengetahuinya. Nabi Musa AS.
tidak bisa shabar mengikuti Nabi Khidir AS., dikarenakan Nabi Musa tidak
mengetahui apa maksud dan apa yang akan terjadi. Allah Swt. berfirman:
وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى
مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا (كهف:68)
Artinya:
“Bagaimana mungkin engkau dapat
bersabar terhadap apa yang engkau belum tahu persis masalahnya”
d. Syukur
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), syukur diartikan sebagai: (1) rasa terima kasih kepada
Allah, dan (2) untunglah (menyatakan lega, senang dan sebagainya). Sebenarnya
kata syukur berasal dari bahasa Arab yakni dalam bentuk mashdar dari
kata kerja syakara–yasykuru–syukran–wa syukuran–wa
syukranan.. Secara bahasa berarti pujian atas kebaikan dan
penuhnya sesuatu. Syukur juga berarti menampakkan sesuatu
kepermukaan. Dalam hal ini menampakkan sesuatu kepermukaan, yakni menampakkan nikmat Allah.
Sedangkan menurut
istilah syukur adalah pengakuan terhadap nikmat yang dikaruniakan Allah yang
disertai dengan kedudukan kepada-Nya dan mempergunakan nikmat tersebut sesuai
dengan tuntunan dan kehendak-Nya. Dalam
hal ini, hakikat syukur adalah “menampakkan nikmat,” dan sebaliknya hakikat
kekufuran adalah menyembunyikannya. Menampakkan nikmat antara lain berarti
menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberi-Nya,
juga menyebut-nyebut nikmat dan pemberi-Nya dengan lidah. M. Quraish Shihab
menegaskan bahwa syukur mencakup tiga sisi. Pertama, syukur dengan hati,
yakni kepuasaan batin atas anugerah. Kedua, syukur dengan lidah, yakni
dengan mengakui anugerah dan memuji pemberinya. Ketiga, syukur dengan
perbuatan, yakni dengan memanfaatkan anugerah yang diperoleh sesuai dengan
tujuan penganugerahannya.
Kaitannya
dengan amal shalih syukur itu menjadi landasan tauhid seseorang ketika
diberikan fasilitas yang enak dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang hamba
di dunia ini. Dengan kata lain dalam beramal ketika fasilitasnya terbatas maka
harus shabar sementara kalau fasilitasnya cukup apalagi berlimpah maka harus
bersyukur. Dalam perspektif amal shalih
keduanya (shabar dan syukur) kedudukannya sama menjadi cara atau ukuran bagi
orang yang beriman apakah tindakannya akan menjadi amal ibadah atau bukan.
Rasulullah Saw. bersabda:
عَنْ
صُهَيْبٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " عَجِبْتُ
مِنْ أَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَ الْمُؤْمِنِ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ
ذَلِكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، كَانَ ذَلِكَ
لَهُ خَيْرًا، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ فَصَبَرَ، كَانَ ذَلِكَ لَهُ خَيْرًا
"(رواه احمد)
Artinya:
Dari Shuhaib berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Saya heran
terhadap urusan orang yang beriman, sesungguhnya semua urusannya akan menjadi
kebaikan, dan itu tidak dapat terjadi keculi bagi orang yang beriman. Jika ia
memperoleh kesenangan lalu ia bersyukur, maka yang demikian itu akan menjadikan
kebaikan baginya. Dan jika ia ditimpa keburukan lalu ia bersabar, maka yang
demikian itu juga menjadi kebaikan (HR. Ahmad)
Pernyataan Rasulullah Saw. tersebut di atas, yang dimaksud menjadi
kebaikan bagi orang yang beriman adalah menjadi amal yang bernilai ibadah.
Karena memang tugas manusia di dunia ini adalah untuk beribadah kepada-Nya. Dan
nilai ibadah itu bentuknya adalah amal shalih, ketakwaan kepada-Nya. Selalu
menjadi hamba yang shalih dalam kondisi apapun, baik sedang dalam kesusahan
maupun sedang dalam kelapangan. Kesusahan dan kesenangan di dunia, bagi seorang
yang beriman itu sama kedudukannya sebagai alat ujian untuk mendapatkan amal
shalih sebanyak-banyaknya.
Maaf, Saudara baiknya Jedda dulu, bagaimana setelah baca teks di
atas? Sudah nyambung? Kalau sudah nyambung mari kita lanjutkan.
e. Ridha
Menurut bahasa kata الرضا/ridha
berasal dari bahasa Arab yang
berarti senang, suka, rela. Ia merupakan lawan dari kata السخط/al-sukht
yang berarti kemarahan, kemurkaan, rasa tidak suka. Orang yang الرضا/ridha
berarti orang yang sanggup melepaskan ketidak senangan dari dalam
hati, sehingga yang tinggal di dalam hatinya hanyalah kesenangan.
Menurut istilah para ulama ridha didefinisikan antara lain oleh; (1).
Dzunnun Al-Miṣri, beliau mengatakan bawa ridha ialah kegembiraan hati dalam menghadapi qadha
tuhan, (2). Ibnu Ujaibah mengatakan bahwa ridha adalah menerima kehancuran dengan wajah
tersenyum, atau bahagianya hati ketika ketetapan terjadi, atau tidak
memilih-milih apa yang telah diatur dan ditetapkan oleh Allah, atau lapang dada
dan tidak mengingkari apa-apa yang datang dari Allah, (3). Al-Barkawi
berpendapat bawa ridha adalah
jiwa yang bersih terhadap apa-apa yang menimpanya dan apa-apa yang hilang,
tanpa perubahan. Ibnu Aṭaillah as-Sakandari berkata, “ridha adalah pandangan hati terhadap pilihan Allah
yang kekal untuk hamba-Nya, yaitu, menjauhkan diri dari kemarahan.
Dari definisi-definisi di atas
dapat difahami bahwa ridha itu
merupakan kondisi kejiwaan atau sikap mental yang senantiasa menerima dengan
lapang dada atas segala keputusan Allah Swt. yang terkait dengan diri seorang
hamba, baik berupa karunia yang baik berupa nikmat maupun yang buruk berupa bala’.
Ia akan senantiasa merasa senang dalam setiap situasi yang meliputinya. Sikap
seperti inilah yang dapat menjadikan amal seorang hamba dapat diterima di sisi
Allah Swt. dan merupakan akhlak yang mulia kepada Penciptanya.
Orang yang ridha terhadap cobaan dan musibah yang
menimpanya sebenarnya merasakan apa yang dirasakan manusia pada umumnya. Akan
tetapi dia ridha dengan akal dan
imannya, karena dia meyakini besarnya pahala dan balasan atas musibah dan
cobaan tersebut. Oleh karena itu dia tidak menolaknya dan tidak gelisah. Abu
Ali Ad-Daqqaq berkata, “ridha bukan
berarti tidak merasakan bencana. Akan tetapi, ridha itu berarti tidak menolak qadha dan takdir.
Orang yang jiwanya
rela (puas) menerima apapun yang terjadi pada diri mereka, tidak ada sedikitpun
kekecewaan yang melanda dirinya. Orang-orang seperti
inilah yang disebut dengan orang yang ridha . Orang yang ridha sadar bahwa penderitaan
yang menimpanya juga menimpa orang lain, namun dalam bentuk yang berbeda-beda.
Sikap seperti itu muncul karena ia mengimani sepenuhnya rencana dan
kebijaksanaan Allah. Apa yang menimpanya
diyakini sebagai ketentuan yang telah ditentukan oleh Allah kepadanya. Ia
menerima dan mensikapi dengan senang hati sehingga ia dapat terhindar dari
kebencian terhadap manusia, karena seseorang yang berusaha mencari ridha Allah tidak peduli
terhadap komentar apapun dari orang lain mengenai dirinya, dan hal itu tidak
membuatnya sakit hati, sehingga hatinya menjadi tenang dan jauh dari gejolak
dan gelisah.
Bagaimana
hubungannya dengan amal shalih? Ridha terhadap keputusan Allah Swt. merupakan
syarat diterimanya penghambaan seseorang. Siapa yang tidak ridha dengan
keputusan dan takdir-Nya dia tidak berhak mengakui Allah sebagai Tuhannya. Dan
berarti amalnya akan didiskualifikasi, tidak akan dihitung dalam perhitungan di
yaum al-hisab kelak. Karena Allah Swt. tidak ridha dengan akhlaknya.
Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadis Qudsi dari Anas bin Malik sebagai
berikut:
عن أَنَس بِنْ مَالِكٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: قَالَ اللهُ تَعَالَى: " مَنْ لَمْ يَرْضَ
بِقَضَائِي وَقَدَرِي فَلْيَلْتَمِسْ رَبًّا غَيْرِي "(رواه البيهقي)
Atinya:
Dari Anas bin Malik berkata, saya mendengan
Rasulullah Saw. bersabda, Allah Swt. berfirman, “Siapa yang tidak ridha dengan
keputusan dan takdirku, maka hendaknya mencari dan memohon doa kepada Tuhan
selain Aku” (HR. Baihaki)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar